1. MEMBACAKAN BERITA
Membacakan berita dapat menjadi suatu pengalaman yang menyenangkan bagi
sang pembaca dan pendengarnya jika pembacaan dilakukan dengan baik.
Untuk dapat menjadi pembaca berita yang baik perlu berlatih:
1. lafal dan pengucapan yang jelas;
2. intonasi yang benar;
3. sikap yang benar.
Dalam menyampaikan berita, intonasi dapat menimbulkan bermacam arti.
Keras lambatnya suara atau pengubahan nada, dan cepat lambatnya
pembacaan dapat digunakan sebagai penegasan, peralihan waktu, perubahan
suasana, maupun perenungan.
Dalam membacakan berita hendaknya diutamakan pelafalan yang tepat.
Gerak-gerik terbatas pada gerak tangan, lengan atau
kepala. Segala gerak tersebut lebih banyak bersifat mengisyaratkan
(bernilai sugestif) dan jangan berlebihan. Untuk menimbulkan suasana
khusus yang diperlukan dalam pembacaan, suara lebih efektif dengan
didukung oleh ekspresi wajah. Air muka (mimik) dan alunan suara yang pas
lebih efektif untuk meningkatkan suasana. Senyum atau kerutan kening
juga dapat membantu penafsiran teks.
Perhatikan pula kontak pandangan Anda dengan pendengar (penonton),
terutama bila membacakan berita melalui media televisi atau kontak
langsung dengan pendengarnya.Jadi, membaca berita adalah menyampaikan
suatu informasi atau berita melalui membaca teks berita dengan lafal,
intonasi, dan sikap secara benar
2. KATA BAKU
Kata baku adalah kata yang sesuai dengan kaidah kebahasaan. Kata baku
digunakan dalam teks-teks berita, makalah, surat dinas, dan teks-teks
lain yang bersifat resmi.
Kata tidak baku adalah kata yang tidak sesuai dengan kaidah kebahasaan.
Kata tidak baku biasanya digunakan dalam percakapan sehari-hari
Yang dimaksud dengan kata baku adalah kata-kata yang sesuai dengan
pedoman atau kaidah yang ditentukan (standardisasi). Dalam pemakaian,
kita sering menjumpai kata-kata yang tidak baku. Kata-kata yang tidak
baku tersebut tidak sesuai dengan pedoman atau kaidah yang ditentukan.
Kata risiko, misalnya, sering ditulis resiko atau kata universal ditulis
universil. Bila kata-kata tersebut digunakan dalam kalimat, kalimat itu
pun menjadi kalimat tidak baku. Ketidakbakuan bukan saja disebabkan
oleh penulisan yang salah, melainkan juga karena pengucapan yang salah,
pembentukan yang tidak benar atau penyusunan kalimat yang tidak tepat.
Bahasa baku digunakan dalam situasi resmi, misalnya dalam pemerintahan,
pendidikan dan pengajaran, penulisan ilmiah, perundang-undangan, atau
kegiatan diskusi ilmiah.
3. HIKAYAT
Dick Hartoko dan B. Rahmanto (1985:59) mengatakan bahwa hikayat adalah
jenis prosa, cerita Melayu Lama yang mengisahkan kebesaran dan
kepahlawanan orang orang suci di sekitar istana dengan segala kesaktian,
keanehan, dan mirip cerita sejarah atau membentuk riwayat hidup.
Contoh:
- Hikayat Indera Bangsawan;
- Hikayat Iskandar Zulkarnaen;
- Hikayat Bayan Budiman
Hikayat merupakan bentuk cerita yang berasal dari Arab. Mulai dikenal di
Indonesia sejak masuknya ajaran Islam ke Indonesia. Hikayat itu hampir
mirip dengan dongeng, penuh dengan daya fantasi. Biasanya berisi cerita
kehidupan seputar istana. Kisah cerita anak-anak raja, pertempuran
antarnegara, seorang pahlawan yang memiliki senjata sakti, dan
sebagainya. Hikayat sering kali disebut sebagai dongeng istana. Tokoh
dalam hikayat sudah dapat dipastikan raja, permaisuri, putra dan putri
raja, juga para kerabat raja. Cerita terjadi di negeri Antah Berantah,
dan selalu berakhir dengan kemenangan tokoh yang selalu berpihak pada
hal yang benar.
Hikayat adalah karya sastra lama Melayu yang berbentuk prosa yang berisi
cerita, undang-undang, dan silsilah bersifat rekaan, keagamaan,
historis, biografis, atau gabungan atau sekadar untuk meramaikan pesta.
Misalnya: Hikayat Hang Tuah, Hikayat Seribu Satu Malam
Ciri-ciri hikayat
1. Sebagian besar berupa sastra lisan (disampaikan dari mulut kemulut);
2. Anonim (tidak dikenal namapengarangnya);
3 . Komunal (hasil sastra yang ada dianggap milik bersama);
3. Statis (tidak mengalami perubahan atau perkembangan);
4. Tidak berangka tahun (tidak diketahui secara pasti kapan karya tersebut dibuat); dan
5. Istana sentris/kraton sentries kehidupan raja-raja dan kaum kerabatnya).
Ciri khas sebuah hikayat:
1. Menimba bahannya dari kehidupan raja-raja dan dewa-dewi,
2. Isinya dongeng yang serba indah yang membawa pikiran sifat-sifat itu, dibaca untuk pelipur
3. Pembaca ke alam khayal, dan lara, pembangkit semangat juang,
4. Melukiskan peperangan yang hebat, dahsyat, tempat para raja/dewa
mempertunjukkan kesaktiannya untuk merebut kerajaan atau seorang puteri.
Dalam hikayat biasanya tak ketinggalan dilukiskan peperangan yang menunjukkan bentuk kesaktiannya rajaan atau seorang putri.
Perbedaan Hikayat dengan Novel
Novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita
kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan
watak dan sifat setiap pelaku.
Istilah novel berasal dari bahasa Italia novella yang berarti kabar atau
berita. Adapun ciri khas sebuah novel di antaranya: di dalam sebuah
novel terdapat konflik yang mengakibatkan perubahan nasib pada pelakunya
menceritakan satu segi kehidupan pelaku jalan ceritanya singkat; hanya
mengenai hal-hal yang pokok/garis besarnya
Hikayat dan novel keduanya merupakan bentuk karya sastra yang berupa
prosa. Bedanya, hikayat merupakan bagian dari prosa lama sedangkan novel
bagian dari prosa baru.
Dalam perkembangannya, kini kita lebih mengenal bentuk novel daripada
hikayat. Hikayat merupakan peninggalan sastra Melay. sementara novel
bagian dari perkembangan hasil karya sastra Indonesia. Kini kita banyak
mengenal hasil karya novel populer maupun novel yang tergolong karya
sastra. Bahkan novel terjemahan dari berbagai negara pun banyak
diterbitkan di Indonesia.
4. RESENSI
Istilah resensi berasal dari bahasa Belanda, resentie, yang berarti
kupasan atau pembahasan. Jadi, resensi adalah kupasan atau pembahasan
tentang buku, film, atau drama yang biasanya disiarkan melalui media
massa, seperti surat kabar atau majalah.
Pada Kamus Sinonim Bahasa Indonesia disebutkan bahwa resensi adalah
pertimbangan, pembicaraan, atau ulasan buku. Akhir-akhir ini, resensi
buku lebih dikenal dengan istilah timbangan buku.
Tujuan resensi adalah memberi informasi kepada masyarakat akan kehadiran
suatu buku, apakah ada hal yang baru dan penting atau hanya sekadar
mengubah buku yang sudah ada. Kelebihan dan kekurangan buku adalah objek
resensi, tetapi pengungkapannya haruslah merupakan penilaian objektif
dan bukan menurut selera pribadi si pembuat resensi. Umumnya, di akhir
ringkasan terdapat nilai-nilai yang dapat diambil hikmahnya.
Pembuat resensi disebut resensator. Sebelum membuat resensi, resensator
harus membaca buku itu terlebih dahulu. Sebaiknya, resensator memiliki
pengetahuan yang memadai, terutama yang berhubungan dengan isi buku yang
akan diresensi. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam
penyusunan sebuah resensi.
1. 1 . Ada data buku, meliputi nama pengarang, penerbit, tahun terbit, dan tebal buku.
2. Pendahuluannya berisi perbandingan dengan karya sebelumnya, biografi
pengarang, atau hal yang berhubungan dengan tema atau isi.
3. Ada ulasan singkat terhadap buku tersebut.
4. Harus bermanfaat dan kepada siapa manfaat itu ditujukan
Umumnya resensi terdiri dari
1. Judul
Judul resensi harus menarik dan selaras dengan keseluruhan isi resensi
2. Identitas buku
meliputi judul buku(judul asli dan Modern.terjemahan),penulis, penerbit, tahun terbit, tebal buku.
3. Isi
Meliputi
- ulasan singkat isi
- keunggulan buku,
- kelemahan buku,
- rumusan kerangka
4. Penutup
Penutup resensi biasanya berisi buku itu penting untuk siapa dan mengapa. Selain itu dapat juga berisi kelemahan buku.
Kiat Praktis Menulis Resensi Buku
Apakah resensi itu?
Resensi adalah tulisan yang menjelaskan kelebihan dan kekurangan sebuah
karya baik yang berupa buku maupun yang berupa karya seni. Tulisan ini
biasanya dimuat di media cetak seperti koran, majalah, atau tabloid.
Dilihat dari segi isinya terdapat berbagai macam resensi, antara lain
resensi buku, resensi novel, resensi buku kumpulan cerpen, resensi film,
resensi, patung, dan sebagainya.
Uraian berikut ini lebih difokuskan pada resensi buku.
Siapakah penulis resensi?
Penulis resensi adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang bidang
yang diresensi dan memiliki kemampuan untuk menganalisis sebuah karya
secara kritis sehingga dapat menjelaskan kelemahan dan kelebihan dari
karya yang diresensi.
Apakah tujuan ditulisnya sebuah resensi?
Resensi dimaksudkan untuk memberikan gambaran kepada pembaca tentang
sebuah karya sehingga pembaca mengetahui apakah karya yang diresensi itu
merupakan karya yang bermutu atau tidak. Resensi akan sangat bermanfaat
apabila karya yang diresensi relatif masih baru. Semakin baru karya
yang diresensi, semakin baik. Hal itu dimaksudkan agar pembaca segera
mengetahui apakah karya itu layak untuk dinikmati atau tidak..
Apa saja unsur-unsur dalam resensi?
Sekurang-kurangnya dalam resensi terdapat hal-hal berikut ini:
• Judul resensi
• Identitas karya (buku) yang diresensi
• Uraian tentang jenis karya yang diresensi
• Uraian tentang kelebihan dan kekurangan karya yang diresensi
• Kesimpulan yang berisi penegasan kembali mengenai layak tidaknya karya tersebut untuk dinikmati oleh pembaca.
Bagaimana langkah-langkah menulis resensi buku (novel)?
Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam menulis resensi buku (novel) adalah:
1. Tahap Persiapan meliputi:
(a) Membaca contoh-contoh resensi; dan
(b) Menentukan buku yang akan diresensi.
2. Tahap Pengumpulan Data meliputi:
(a) Membaca buku yang akan diresensi;
(b) Menandai bagian-bagian yang akan dijadikan kutipan sebagai data
meliputi hal-hal yang menarik dan tidak menarik dari buku (novel) yang
diresensi;
(c) Mencatat data-data penulisan resensi yang telah diperoleh melalui membaca buku yang diresensi..
3. Tahap Penulisan meliputi:
(a) Menuliskan identis buku;
(b) Mengemukakan isi buku (sinopsis novel dan unsur-unsur intrinsik lainnya );
(c) Mengemukakan kelebihan dan kekurangan buku (novel) baik dari segi isi maupun bahasa;
(d) Merevisi resensi dengan memperhatikan susunan kalimatnya, kepaduan paragrafnya, diksinya, ejaan dan tanda bacanya.
(e) Membuat judul resensi.
Catatan:
Judul resensi harus singkat, menarik, dan menggambarkan isi resensi.
Bagaimana cara menemukan kelebihan dan kekurangan buku yang diresensi?
Cara menemukan kekurangan dan kelebihan buku yang diresensi adalah:
• membandingkan buku yang diresensi dengan buku lain yang sejenis baik
oleh pengarang yang sama maupun oleh pengarang lain yang meliputi segi
isi atau pun bahasanya (untuk novel meliputi semua unsur intrinsiknya);
• mencari hal-hal yang menarik atau disukai dan hal-hal yang tidak
disukai dari buku tersebut dan mencari alasan mengapa demikian.
Berikut ini adalah contoh resensi buku nonfiksi.
Kisah-Membaca Seorang "Yogi Buku"
Judul buku : Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu
Penulis : P. Swantoro
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : I
Tahun terbit : 2002
Jumlah halaman : xxv + 435 halaman
Bagi Polycarpus Swantoro yang ahli sejarah dan jurnalis senior, membaca
buku seolah-olah seperti berolah yoga. Sebagaimana seorang empu keris
yang bekerja dalam waktu yang lama untuk membuat keris yang ringan dari
bahan yang bobotnya puluhan kilogram, seperti itu pulalah yang dilakukan
oleh P. Swantoro. Bedanya, P. Swantoro tidak melakukan pekerjaan
menempa besi, tetapi membaca buku. Tentu saja ada ribuan judul buku yang
sudah dibaca Pak Swan. Namun, dalam bukunya yang berjudul Dari Buku ke
Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu ini "hanya" 200 judul buku yang ia
"kisahkan".
Dengan cara yang menawan, ia mengisahkan bagaikan seorang kakek yang
baru pulang dari berkelana di negeri yang jauh, kemudian menceritakan
peng-alamannya kepada anak cucunya.
Sebagai seorang pengelana di dunia buku, tidaklah mengherankan jika
buku-buku yang ia kisahkan merupakan buku-buku babon yang tua dan cukup
langka,. Misalnya, The History of Java karya Thomas S. Raffles yang
terbit tahun 1817, Inleiding tot de Hindoe-Javaanche Kunst karya N.J
Krom yang terbit tahun 1919, atau De Ijombok Kxpedie karya W Cool yang
terbit tahun 1896. Memang, di sana-sini, untuk keperluan pendukung data,
Pak Swan juga menggunakan cukup banyak sumber sekunder. Sebenarnya, hal
ini agak mengganggu. Ketika membahas topik PKI, misalnya, Pak Swan,
sebenarnya, perlu menggunakan sumber yang lebih memadai.
Tema yang diangkat pun beraneka ragam, mulai dari cerita tentang
lambang-lambang kota di Indonesia, cerita tentang penulis pertama buku
komunis di Indonesia, cerita Pak Poerwa, cerita tentang meletusnya
Gunung Merapi, cerita tentang para orientalis dan sarjana Indonesia,
romantika para pendiri bangsa, serta ditutup dengan khayalan Pak Swan
agar para pemimpin dan intelektual masa kini dapat beryogi. Bagi para
pembaca "pemula", tema yang tumpang-tindih tanpa sistematika yang jelas
ini cukup merepotkan.
Dalam membicarakan suatu bab, Pak Swan sering meloncat-loncat kian
kemari. Kata demi kata mengalir tanpa jelas muaranya. Misalnya, ketika
membicarakan Teeuw, Yogi Sastra, Yogi Keris, Yogi Ilmu, pembaca
benar-benar dituntut cermat untuk menginterpretasikan benang merah ide
tulisan-tulisan ini. Namun, jika kita bersabar untuk menikmati buku ini
sampai habis, tentu kita dapat menemukan keseluruhan ide Pak Swan dan
kebingungan yang muncul di bab demi bab akan terjawab.
Buku Pak Swan ini mengingatkan kita pada tiga jilid buku Nusa Jawa
Silang Budaya karya Denys Lombard. Tulisan Lombard juga mengabaikan
kronologi waktu, yang merupakan syarat untuk menulis sejarah
konvensional. Namun, kecurigaan bahwa buku Pak Swan menggunakan pola
yang sama dengan buku Denys Lombard tidak terbukti mengingat dalam
menulis buku ini Pak Swan lebih mengandalkan memorinya, seperti
pengakuan Pak Swan sendiri dalam pengantar. Karena mengandalkan memori,
tentu saja tulisan yang dihasilkannya menggunakan pola penceritaan
lisan.
Buku ini lebih merupakan buku sejarah walaupun temanya beraneka ragam.
Pembaca yang baru akan masuk ke wacana sejarah Indonesia, akan sangat
terbantu dengan membaca
Buku ini sebenarnya akan lebih sempurna jika penulisnya, di samping
membicarakan cara pandang para orientalis Barat, juga memberikan contoh
buku-buku yang memuat cara pandang Timur. Sekadar contoh, dijelaskan
tentang sebutan "Timur Tengah" untuk wilayah negara di jazirah Arab.
Mengapa orang Indonesia tidak menyebutnya sebagai "Barat Dekat",
misalnya? Bukankah sebutan "Timur Tengah" adalah sebutan orang Barat
yang melihat jazirah Arab dari sudut pandang wilayahnya? Pandangan
seperti ini sangat diperlukan bagi para mahasiswa sejarah di Indonesia
yang tampaknya semakin kesulitan membaca buku-buku sumber utama.
Untuk keperluan studi para mahasiswa sejarah, akan sangat menggembirakan
jika Pak Swan menceritakan juga buku Orientalism karya Edward W. Said
yang terbit tahun 1979. Selain itu, sebaiknya, buku yang berisi sikap
kita terhadap tradisi Barat yang berjudul Oksidentalisme karya Hassan
Hanafi yang diterbitkan Paramadina, Jakarta, tahun 2000 juga
dibicarakan.
Hal lain yang belum dibahas secara lengkap oleh Pak Swan sebagai seorang
ahli sejarah dan pemerhati kebudayaan Jawa adalah tentang historiografi
Jawa. Prof. C.C. Berg, memang, sempat dimunculkan dalam bagian Babad:
Kitab Dongeng? Namun, sayang sekali, karya C.C. Berg yang berjudul
Oavaanche Geschiedschrijving, yang terbit di Amsterdam tahun 1938, tidak
dimunculkan sehingga gambaran mengenai penulisan sejarah di Pulau Jawa
menjadi agak terabaikan.
Terlepas dari berbagai ketidaksempurnaan-nya, harus diakui bahwa buku
pertama seorang "yogi buku" ini merupakan karya yang memikat. Bahkan
cara dan gaya pengungkapannya, dalam kadar tertentu, telah memberikan
sentuhan sastra yang cukup enak dinikmati. Kita menantikan karya
berikutnya.
Sumber: Majalah Matabaca, Agustus 2002 (dengan perubahan)
Berikut ini adalah contoh resensi buku kumpulan cerpen.
Monyet Ayu Menggiring Surealisme
Judul : Mereka Bilang, Saya Monyet!
Pengarang : Djenar Maesa Ayu
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2004
Cetakan : Keenam. Mei 2004
Tebal buku : xii, 137 halaman
“Sepanjang hidup, saya melihat manusia berkaki empat. Berbulu serigala,
landak, atau harimau. Dan berkepala ular, banteng, atau keledai.
Namun, tetap saja mereka bukan binatang. Cara mereka menyantap hidangan
di depan meja makan sangat benar. Cara mereka berbicara selalu
menggunakan bahasa dan sikap yang sopan. Dan mereka membaca buku–buku
bermutu. Mereka menulis catatan-catatan penting. Mereka bergaun indah
dan berdasi. Bahkan, konon mereka mempunyai hati.” (halaman 1)
“Saya memperhatikan bayangan diri saya dalam cermin dengan cermat. Saya
berkaki dua, berkepala manusia, tapi menurut mereka, saya adalah seekor
binatang. Kata mereka, saya adalah monyet. Waktu mereka mengatakan itu
pada saya, saya sangat gembira. Saya katakan, jika seekor monyet maka
saya satu-satunya binatang yang paling mendekati manusia. Berarti
derajat saya berada di atas mereka. Tapi mereka bersikeras bahwa mereka
manusia bukan binatang, karena mereka punya akal dan perasaan. Dan saya
hanyalah seekor binatang. Hanya seekor monyet!”
Reaktif, provokatif, bahkan subversif. Itulah kesan pertama saya membaca
kalimat-kalimat dalam salah satu cerpen Djenar Maesa Ayu berjudul
“Mereka Bilang, Saya Monyet!”. Penggalan cerpen yang juga dimuat di
sampul belakang antologi ini menyuguhkan panorama baru, pengutaraan
prosa yang berkecenderungan punya “tegangan tinggi”.
Reaktif karena kebanyakan cerpen dalam buku yang memuat sebelas cerpen
ini merupakan tegangan-tegangan bahasa yang menuju pada simpul-simpul
reaksi atas berbagai “kesakitan” yang dialami (diminati) para tokoh.
Reaksi ini bisa dialami pengarang sebagai “pengalaman imajinatif”.
Dialamijuga mengandung pengertian mengetahui dan dapat dirasakan.
Provokasi juga menjadi ujara morfologi pada cerpan – cerpen Djenar.
Secara sublim, ia sebenarnya memprovokasi dirinya lewat tokoh –tokoh
untuk menggugat berbagai “ketidakbahagiaan hidup”. Saya tidak melihatnya
sebagai laku feminisitas. Djenar lebih sebagai moralis yang kadang puas
dengan menelanjngi dirinya. Ucapan “Mereka Bilang, Saya Monyet!” adalah
provokasi bagi sang aku untuk menyadari “kadar kemanusiaannya”.
Sementara subversif dicapai dengan penceritaan yang disampaikan secara
tidak lazim, termasuk penggunaan bahasa.
Cerpenis kelahiran 14 januari 1973 yang sudah dikaruniai dua putri ini
termasuk cerpenis yang sudah membuktikan bakat dan kerja keras sebagai
gabungan sukses setelah unsur “sudah kehendak takdir”. Ia terbilang
baru, tetapi punya karya yang mencengangkan. Saya tidak tahu sejauh mana
hubungan semiotik Djenar Maesa Ayu dengan tiga sastrawan yang juga
dianggap sebagai guru, yakni Sutardji Calzoum Bachri, Budi Darma, Seno
Gumira Ajidarma. Djenar mempersembahkannya untuk tiga sastrawan besar
yang juga dikenal sebagai cerpenis itu. Namun, ini juga merefleksikan
benang merah prosa absurd hingga surealis yang menjadi dasar kesastraan
Djenar.
Kita kenal Sutadji punya sekumpulan cerpen, Hujan Menulis Ayam
(Indonesia Tera),yang jeli menggambarkan absurditas kehidupan.Kita
menggali pribadi absurd pada tokoh-tokoh karya Budi Darma,yang bahkan
menjadi surealis, yang kemudian dikembangkan secara jenius oleh Seno
Gumira Ajidarma. Di titik Djenar seperti menemukan jalan penempuhan yang
seirama dengan mereka. Bahwa pengutaraan lain,itu tentu soal cap
kebahasaan dan kesastraan.
Dengan cara itu disimak bahwa Djenar melebih-lebihkan objek atau
peristiwa,seperti pada cerpen “Lintah”. Sang pencerita menceritakan
kebenciannya pada pacar ibunya yang ia lihat sebagai lintah, bahkan
kadang bisa membelah diri dan menjadi ular. Hiperbola itu juga digunakan
pada “Mereka Bilang, Saya Monyet!” yang melihat laki-laki jahat sebagai
“berkepala buaya berkaki kalajengking”, juga pada cerpen “Wong Asu”
yang mempresentasikan relasi manusia dengan anjing.
Dalam benak seorang surealis, kenyataan memang bisa selentur apa
pun.Imajinasi memberi peluang untuk merebut realitas dijadikan tahap
realitas imajinatif yang hampir tiada batas. Realitas temuan hanya
menjadi sumbu peledak bagi realitas yang diungkapkan secara simbolis.
Pencapaian sastra didapat dari unsur daya kejut, refleksi, gaya ungkap,
hingga sublimasi.Makna dari tema dan pencapaian ikon/tanda yang secara
semiotik diakui kefasihannya, Djenar telah cukup memenuhi syarat itu.
Karyanya yang lain seperti”Durian” berkisah tentang dosa dan ketakutan
berlebih punya anak menderita kusta.”Melukis Jendela” berkisah tentang
anak tidak bahagia yang melakukan eskapisme (pelarian diri) dengan
melukis dan “Asmoro” tentang pengarang yang jatuh cinta pada tokoh fiksi
ciptaannya. Kisah ini diungkapkan Djenar dengan cukup cerdas. Dalam
penggunaan bahasa, ia terlihat fasih dengan ucapan yang lugas dan tegas.
Bahasanya padat dan kuat sehingga mampu menohok setiap ihwal yang
dijadikan objek tematik. Cerpen “Waktu Nyala”, misalnya, merupakan
cerpen yang mengalirkan kekuatan berbahasa yang dikuasai Djenar dalam
berkisah untuk menyihir pembaca. Uraiannya seperti.”Entah kapan
persisnya Nayla tidak bersahabat dengan waktu.Waktu bagaikan seorang
pembunuh yang selalu membuntuti dan mengintai dalam kegelapan. Siap
menghunuskan pisau ke dadanya yang berdebar. Debaran yang pernah ia
lupakan rasanya. Debaran yang satu tahun lalu menyapanya dan mengulurkan
persahabatan abadi, hampir abadi, sampai ketika sang pembunuh tiba-tiba
muncul dengan sebilah belati,” menunjukkan kelancaran berbahasa dengan
efektivitas diksi yang terjaga.
Ihwal peristiwa bahasa itu, ia juga menggunakan dalam cerpen
“SMS”.Bahasa yang dipakai layaknya kiriman pesan lewat SMS di handphone.
Di situ kata-kata minimal dan nomor-nomor atau angka digunakan sebagai
kesatuan morfologis dalam cerita. Meskipun cerpen ini kurang berhasil,
ia menjadi kaya alternatif yang menggunakan medium bahasa teknologi
dalam pemaparan sebuah cerpen.”SMS” memang bertema biasa dan juga kurang
berhasil sebagaimana karya “Menepis Harapan”, ”Namanya …”serta “Manusia
dan Dia”, yang lebih terasa sebagai cerpen dengan tuturan bahasa
kuat,mengalir, namun kehilangan roh tematik atau dalam beberapa hal alur
dan endingnya mudah diduga. Mungkin ini berkaitan dengan jam terbang
Djenar Maesa Ayu yang baru. Sebagai pendatang baru dalam dunia prosa
Indonesia, Djenar sudah menjadi young divas setelah Ayu Utami dan Dinar
Rahayu. Ia juga seorang surealis andal setelah Joni Ariadinata dan Agus
Noor.(Eriyadi Budiman)
Berikut ini adalah contoh resensi novel.
Resensi Boulevard de Clichy - Agonia Cinta Monyet
Judul : Boulevard de Clichy-Agonia Cinta Monyet
Penulis : Remy Sylado
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tanggal terbit : Maret – 2007
Jumlah halaman : 400 halaman
Kategori : Novel
Campur tangan ibu Budiman dengan bantuan opo-opo (guna-guna) membuat
budiman lupa akan perbuatannya terhadap Nunuk, bahkan melupakan Nunuk,
gadis yang dicintainya. Sebagai anak orang kaya, Budiman melanjutkan
sekolah di Perancis, tetap dengan gaya anak pejabat yang lebih suka
menghabis-habiskan uang daripada menggali ilmu pengetahuan yang bisa
diperolehnya di sana.
Sementara Nunuk yang punya keluarga di Belanda diceritakan memutuskan
untuk membawa anaknya yang baru lahir dan tinggal bersama keluarga
ibunya di Belanda, melanjutkan sekolah di sana. Pertemuannya dengan
seorang pencari bakat turunan Turki membawanya berkelana mencari
pengalaman baru di Paris, Perancis. Kisah yang juga sama dengan pencari
TKW yang mengajak perempuan desa ke kota, ataupun ke luar negeri dengan
janji pekerjaan demi kehidupan yang lebih baik.
Jalan cerita selanjutnya tidak terlalu sulit untuk ditebak. Kepintaran
Nunuk membawanya menjadi bintang di Boulevard de Clichy dengan julukan
Météore de Java. Tutur cerita yang secara detil menggambarkan situasi
Boulevard de Clichy, maupun gambaran detil perilaku pelakon cerita serta
perasaan-perasaan mereka, menjadi daya tarik utama dari novel-novel
karangan Remy Sylado.
Sayangnya, akhir cerita yang terkesan terburu-buru dan terlalu
dipaksakan membuat kekuatan cerita menjadi berkurang. Cerita Budiman dan
Nunuk yang kembali lagi ke tanah air dan bertemu kembali setelah
terpisah selama 5 tahun ternyata tidak dikisahkan sedetil dan seindah
novel di bagian awal. Akhir cerita lebih berwarna "fairy tale", seperti
kisah putri upik abu yang disunting pangeran kaya-raya.
Memang ini bukan kisah seribu satu malam, atau HC Andersen yang selalu
mengatakan bahwa kejujuran dan kebaikan akan selalu menang dan juga
bahwa kemenangan dan kemuliaan bersumber dari usaha kerja keras dan
penuh pengorbanan. Oleh karena itu, sah-sah saja kalau jalan ceritanya
menjadi demikian.
Membaca bagian akhir buku ini tidak lebih dari sekadar ingin menuntaskan
suatu pekerjaan yang sudah terlanjur dimulai, disertai harapan
mudah-mudahan novel Remy Sylado berikutnya dapat lebih hidup dan
mengasyikkan sampai dengan akhir
cerita.
5. UNGKAPAN/IDIOM
Ungkapan/idiom adalah satuan bahasa, baik berbentuk kata, frasa, maupun
klausa yang maknanya sudah tidak dapat dirunut kembali dari makna
denotasi unsur-unsur yang menyusunnya.
Contoh :
a. Orang terkaya itu mempunyai gula-gula yang disimpannya di luar kota.
b. Si panjang tangan itu sudah memperbaiki tingkah lakunya.
c. Orang itu sedang dicari polisi karena tercatat dalam daftar hitam.
Berdasarkan atas makna unsur-unsur yang membentuknya, idiom dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yakni:
a. Idiom penuh, yaitu idiom atau ungkapan yang seluruh unsure
pembentuknya tidak dapat dikembalikan kepada makna
denotasinya/sebenarnya.
Contoh:
1. Gulung tikar berarti bangkrut.
2. Pantat kuning berarti pelit/kikir.
Kata gulung dan kata tikar sudah kehilangan makna denotasinya. Demikian juga kata pantat dan kata kuning.
b. Idiom sebagian, yaitu idiom atau ungkapan yang sebagian unsur pembentuknya masih dapat dikembalikan kepada makna denotasinya.
Contoh:
1. Kabar burung berarti kabar atau berita yang belum tentu kebenarannya.
2. Daftar hitam berarti daftar nama orang yang terlibat dalam tindak kejahatan.
Dalam hal ini, kata kabar dan daftar masih dapat dikembalikan pada makna denotasinya.
6. PROPOSAL
Pada umumnya sebelum kita melakukan suatu kegiatan, kita harus menyusun
rencana kegiatan terlebih dahulu. Rencana kegiatan itu berisi strategi
pelaksanaan kegiatan dari awal sampai akhir.Rencana kegiatan yang
disusun itu disebut proposal.
Proposal dapat didefinisikan sebagai rencana kerja yang disusun secara
sistematis dan terinci untuk suatu kegiatan yang bersifat formal
Contoh format penyusunan proposa kegiatan
1. Nama kegiatan (Judul)
Nama kegiatan/judul yang akan dilaksanakan tercermin dalam judul proposal.
2. Latar belakang
Latar belakang proposal berisi pokok-pokok pemikiran dan alasan perlunya diadakan kegiatan tertentu.
3. Tujuan
Penyusunan proposal harus merumuskan tujuan sedemikian rupa agar target
yang akan dicapai dapat dirasakan oleh pembaca proposal. Oleh karena
itu,tujuan harus dijabarkan supaya tampak manfaatnya.
4. Tema
Tema adalah hal yang mendasari kegiatan tersebut.
5. Sasaran/peserta
Penyusun proposal harus menetapkan secara tegas siapa yang akan dilibatkan dalam kegiatan tersebut.
6. Tempat dan waktu kegiatan
Dalam proposal harus dituliskan secara jelas kapan dan di mana kegiatan akan dilaksanakan.
7. Kepanitiaan
Penyelenggara atau susunan panitia harus dicantumkan dalam proposal dan ditulis secara rinci.
8. Rencana anggaran kegiatan
Penulis proposal harus menyusun anggaran biaya yang logis dan realistis,
serta memperhatikan keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran.
9. Penutup
Berisi ucapan terima kasih
7. KARANGAN ILMIAH
Karangan ilmiah adalah karangan ilmu pengetahuan yang menyajikan fakta
dan ditulis menurut metodologi penulisan yang baik dan benar. Yang
termasuk karangan ilmiah adalah makalah, skripsi, tesis, disertasi, dan
laporan penelitian.
Ketentuan umum yang harus diperhatikan dalam pembuatan karangan ilmiah:
1. Kertas yang digunakan untuk mengetik karangan adalah kertas HVS
berukuran kuarto (21,5 x 28 cm). Untuk kulitnya, digunakan kertas yang
agak tebal.
2. Pengetikan menggunakan huruf tegak dan jelas (misalnya, Times New Roman) dengan ukuran 12.
3. Menggunakan tinta berwarna hitam.
4. Batas-batas pengetikan:
a. pias atas 4 cm;
b. pias bawah 3 cm;
c. pias kiri 4 cm; dan
d. pias kanan 3 cm.
Sistematika Karya Ilmiah
BAGIAN PEMBUKA
1 . Kulit Luar/Kover
Yang harus dicantumkan pada kulit luar dan halaman judul
a. Judul karangan ilmiah lengkap dengan anak judul (jika ada)
b. Keperluan Penyusunan
c. Nama Penyusun
d. Nama Lembaga Pendidikan
e. Nama Kota
f. Tahun Penyusunan
karangan ilmiah adalah sebagai berikut:
2 . Halaman Judul
3 . Halaman Pengesahan,
Dalam halaman ini dicantumkan nama guru pembimbing, kepala sekolah, dan tanggal, bulan, tahun persetujuan.
4 . Kata Pengantar
Kata pengantar dibuat untuk memberikan gambaran umum kepada pembaca
tentang penulisan karangan ilmiah. Kata pengantar hendaknya singkat tapi
jelas. Yang dicantumkan dalam kata pengantar adalah (1) puji syukur
kepada Tuhan, (2) keterangan dalam rangka apa karya dibuat, (3)
kesulitan/ hambatan yang dihadapi, (4) ucapan terima kasih kepada pihak
yang membantu tersusunnya karangan ilmiah, (5) harapanpenulis, (6) tempat, tanggal, tahun, dan nama penyusun karangan ilmiah.
5. Daftar Tabel
Tajuk Daftar Tabel dituliskan dengan huruf kapital semua dan terletak di tengah.
6. Daftar Grafik, Bagan, atau Skema
Pada dasarnya penulisannya hampir sama seperti penulisan Daftar Tabel.
7. Daftar Singkatan/Lambang
Penulisan sama dengan penulisan Daftar Tabel, Grafik, Bagan, atau Skema.
BAGIAN INTI KARANGAN
1. Bab Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Bagian ini memuat alasan penulis mengambil judul itu dan manfaat praktis
yang dapat diambil dari karangan ilmiah tersebut. Alasan-alasan ini
dituangkan dalam paragraf-paragraf yang dimulai dari hal yang bersifat
umum sampai yang bersifat khusus.
1.2 Rumusan masalah
Permasalahan yang timbul akan dibahas dalam bagian pembahasan dan ini
ada kaitannya dengan latar belakang masalah yang sudah dibahas
sebelumnya. Permasalahan ini dirumuskan dalam kalimat-kalimat
pertanyaan.
1.3 Tujuan
Bagian ini mencantumkan garis besar tujuan pembahasan dengan jelas dan
tujuan ini ada kaitannya dengan rumusan masalah dan relevansinya dengan
judul. Tujuan boleh lebih dari satu.
1.4 Ruang Lingkup
Ruang lingkup ini menjelaskan pembatasan masalah yang dibahas.
Pembatasan masalah hendaknya terinci dan istilah istilah yang
berhubungan dirumuskan secara tepat. Rumusan ruang lingkup harus sesuai
dengan tujuan pembahasan.
1.5 Landasan Teori
Landasan teori berisi prinsip-prinsip teori yang mempengaruhi dalam
pembahasan. Teori ini juga berguna untuk membantu gambaran langkah kerja
sehingga membantu penulis dalam membahas masalah yang sedang diteliti.
1.6 Hipotesis
Hipotesis merupakan kesimpulan/perkiraan yang dirumuskan dan untuk
sementara diterima, serta masih harus dibuktikan kebenarannya dengan
data-data otentik yang ada, pada bab-bab be rikutnya. Hipotesis harus
dirumuskan secara jelas dan sederhana, serta cukup mencakup masalah yang
dibahas.
1.7 Sumber data
Sumber data yang digunakan penulis karangan ilmiah biasanya adalah
kepustakaan, tempat kejadian peristiwa (hasil observasi), interview,
seminar, diskusi, dan sebagainya.
1.8 Metode dan teknik
a. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah cara mencari data bagi suatu penulisan,
ada yang secara deduktif dan atau induktif. Mencari data dapat dilakukan
dengan cara studi pustaka, penelitian lapangan, wawancara, seminar,
diskusi, dan lain sebagainya.
b. Teknik Penelitian
Teknik penelitian yang dapat digunakan ialah teknik wawancara, angket,
daftar kuesioner, dan observasi. Semua ini disesuaikan dengan masalah
yang dibahas.
1.9 Sistematika Penulisan
Sistematika Penulisan adalah suatu tulisan mengenai isi pokok secara
garis besar dari bab I sampai bab terakhir atau kesimpulan dari suatu
karangan ilmiah. Berdasarkan landasan teori
2. Bab Analisis/Bab Pembahasan
Bab ini merupakan bagian pokok dari sebuah karangan ilmiah,yaitu
masalah-masalah akan dibahas secara terperinci dan sistematis. Jika bab
pembahasan cukup besar, penulisan dapat dijadikan dalam beberapa anak
bab.
3. Bab Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan yang telah diperoleh dari penelitian yang
telah dilakukan. Kesimpulan adalah gambaran umum seluruh analisis dan
relevansinya dengan hipotesis yang sudah dikemukakan.Yang dimaksudkan
dengan saran adalah saran penulis tentang metode penelitian lanjutan,
penerapan hasil penelitian, atau beberapa saran yang ada relevansinya
dengan hambatan yang dialami selama penelitian.
BAGIAN PENUTUP
1. Daftar Pustaka
Tajuk daftar pustaka dituliskan dengan huruf kapital semua tanpa diberi
tanda baca dan dituliskan di tengah-tengah. Dalam daftar pustaka
dicantumkan semua kepustakaan, baik yang dijadikan acuan penyusunan
karangan maupun yang dijadikan bahan bacaan, termasuk artikel, makalah,
skripsi, disertasi, buku, dan lain-lain.
Semua acuan dalam daftar pustaka disusun menurut abjad nama pengarang
atau lembaga yang menerbitkan. Jadi, daftar pustaka tidak diberi nomor
urut. Jika tanpa nama pengarang atau lembaga, yang menjadi dasar urutan
adalah judul pustaka.
2. Penulisan Lampiran (jika diperlukan)
3. Penulisan Indeks (jika diper lukan)
8. KUTIPAN, DAFTAR PUSTAKA DAN CATATAN KAKI
Penulisan kutipan, daftar pustaka, dan catatan kaki berkaitan erat
dengan proses pengambilan data untuk kepentingan penulisan karya ilmiah.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai kutipan, daftar pustaka, dan
catatan kaki, kita akan melihat beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam pengambilan data.
1. Harus mencantumkan sumber aslinya. Hal ini penting karena pengambilan
data tanpa mencantumkan sumber aslinya dapat dikategorikan sebagai
penjiplakan atau plagiat.
2. Data yang diambil harus sesuai dengan fakta, tidak boleh diubah ataupun direkayasa.
3. Pengambilan data hendaknya diperoleh dari sumber yang dapat
dipercaya, baik dari objektivitas, metode pengumpulan, (jika data
diperoleh dari pengamatan, pengujian, atau angket) maupun kewenangan
pihak pemberi data.
A. Kutipan
Mengutip pendapat atau tulisan seseorang ada ket entuannya dan hal ini
sudah dibahas di kelas X. Hal yang perlu diingat adalahsebagai berikut.
a. Kutipan harus sama persis dengan aslinya, baik ejaan, susunan kalimat, dan tanda baca.
b. Kutipan yang panjangnya kurang dari 5 baris diintegrasikan dengan teks, spasi dua, dan dibubuhi tanda kutip.
c. Kutipan yang panjangnya 5 baris atau lebih tidak harus diberi tanda
kutip, dipisahkan dari teks utama dengan jarak 2,5 spasi, jarak
antarbaris satu spasi, serta seluruh kutipan diketik ke dalam 5—7
ketikan.
d. Bila ada bagian yang dihapus, bagian ini diberi tanda titik-titik tiga buah.
e. Tiap kutipan diberi nomor pada akhir kutipan dan penulisannya setengah spasi ke atas.
B. Daftar Pustaka
Daftar pustaka atau bibliografi adalah sebuah daftar yang berisi judul
buku-buku, artikel, dan bahan-bahan penerbitan lain yang mempunyai
pertalian dengan karangan yang telah disusun.
Daftar pustaka berfungsi sebagai sumber informasi bagi seseorang
peneliti/penulis agar hasil tulisannya dapat dipertanggungjawabkan.
Petunjuk umum penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut.
1. Daftar pustaka diletakkan pada bagian akhir tulisan.
2. Daftar pustaka tidak diberi nomor urut.
3. Nama penulis diurutkan menurut abjad setelah nama pengarang dibalik.
4. Tiap sumber bacaan diketik dengan jarak satu spasi.
5. Jarak antarsumber bacaan yang satu dengan yang lainnya dua spasi.
Hal-hal lain yang perlu kita perhatikan dalam penyusunan daftar pustaka adalah sebagai berikut.
1. Nama Pengarang
a. Penulisan nama pengarang dari buku dengan seorang pengarang.
1) Nama keluarga ditulis sebelum nama kecil atau inisial. (Untuk memudahkan penyusunan secara alfabetis.)
2) Jika buku disusun oleh sebuah komisi/lembaga, nama pengarang.
3) Jika tidak ada nama pengarang, urutan dimulai dari judul buku. Keraf, Gorys. 1988. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
b. Penulisan nama pengarang dari buku dengan dua atau tiga pengarang.
1) Nama pengarang kedua dan ketiga tidak dibalik. Ketentuan lain sama dengan bagian a.
2) Urutan nama pengarang harus sesuai dengan yang tercantum dalam halaman judul buku dan tidak boleh ada perubahan urutan.
Contoh:
Kridalaksana, Harimurti dan Djoko Kentjono,ed. 1991.Seminar Bahasa Indonesia 1968. Ende-Flores: Nusa Indah.
c. Penulisan nama pengarang dari buku dengan banyak pengarang.
1) Hanya nama pertama yang dicantumkan dengan susunan terbalik.
2) Nama-nama pengarang yang lainnya dituliskan dengan singkatan dkk.
Contoh:
Karso, dkk. 1994. Sejarah Nasional dan Sejarah Umum.
Bandung: Angkasa.
2. Tahun Terbit
Tahun terbit ditulis sesudah nama pengarang dipisahkan dengan tanda titik.
3. Judul Buku
Judul buku digarisbawahi atau dicetak miring. Setiap huruf awal kata
dalam judul diketik dengan huruf kapital, kecuali kata depan dan
konjungsi.
4. Tempat Terbit
Tempat terbit ditulis sesudah judul buku, dipisahkan dengan tanda titik.
5. Penerbit
Nama penerbit ditulis sesudah tempat terbit dipisahkan dengan tanda titik dua (:) dan diakhiri dengan titik.
6. Penulisan daftar pustaka dari buku yang terdiri atas dua jilid atau lebih
a. Angka jilid ditempatkan sesudah judul dipisahkan dengan sebuah tanda titik.
b. Tulisan jilid disingkat Jil. atau Jld..
Contoh:
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jil. 2 . Yogyakarta: Kanisius.
7. Penulisan data pustaka dari sebuah buku terjemahan
a. Nama pengarang asli diurutkan dalam daftar urutan alfabetis.
b. Keterangan penerjemah ditempatkan sesudah judul buku dipisahkan dengan tanda koma.
Contoh:
Multatuli. 1972. Max Havelar, atau Lelang Kopi Persekutuan
Dagang Belanda, terj. H.B. Jassin. Jakarta: Jambatan.
8. Data Pustaka dari artikel majalah
a. Judul artikel dan judul majalah diapit oleh tanda petik.
b. Tidak ada tempat publikasi dan penerbit, tapi dicantumkan nomor, tanggal, dan halaman
Contoh:
Solihin, Burhan, dkk. Selamat Datang di Surga Nirkabel.Tempo. Edisi 4-10 April 2005, hal 90-91.
9. Artikel dari Harian
Tanda titik dipakai sesudah nama pengarang/penulis, selanjutnya menggunakan tanda koma sebagai pemisah.
Contoh :
Pramudianto. Denderita dan Pemulihan Nias.Kompas, 2 April 2005, hal 46.
C. Catatan Kaki
Catatan kaki adalah keterangan-keterangan atas teks karangan yang
ditempatkan pada kaki halaman karangan yang bersangkutan. Semua kutipan,
baik langsung maupun tidak langsung dapat dijelaskan sumbernya dalam
sebuah catatan kaki.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membuat catatan kaki.
1. Hubungan catatan kaki dan teks ditandai dengan nomor penunjukan yang ditempatkan agak ke atas setengah spasi dari teks.
2. Pemberian nomor urut yang berlaku untuk tiap bab atau untuk judul buku dipergunakan tanda seluruh karangan. koma.
3. Teknik pembuatan catatan kaki adalah sebagai berikut.
a. Sediakan tempat secukupnya pada kaki halaman tersebut.
b. Sesudah baris terakhir dari teks dalam jarak 3 spasi harus dibuat sebuah garis, mulai dari kiri sepanjang 15 ketikan.
c. Dalam jarak 2 spasi dan garis dalam jarak 5-7 ketikan dari margin kiri diketik nomor penunjukan.
d. Langsung sesudah nomor, setengah ke bawah mulai diketik baris pertama dari catatan kaki.
e. Jarak antarbaris dalam catatan kaki adalah spasi rapat, sedangkan
jarak antarcatatan kaki pada halaman yang sama adalah dua spasi.
Unsur-unsur yang ada dalam catatan kaki dan penulisannya adalah sebagai berikut.
1. Pengarang
a. Nama pengarang dicantumkan sesuai urutan biasa, pada penunjukan yang kedua dan selanjutnya cukup dipergunakan nama singkat.
b. Bila terdiri dari dua atau tiga pengarang, semuanya dicantumkan, sedangkan lebih dari 3 orang cukup nama pertama
c. yang dicantumkan. Nama yang lain digantikan dengan singkatan dkk.
d. Penunjukan kepada sebuah kumpulan sama dengan no (a) dan (b) ditambah
singkatan ed. (editor) di belakang nama penyunting dan dipisahkan
dengan tanda koma.
e. Jika tidak ada pengarang/editor, langsung dimulai dengan judul.
2. Judul
a. Semua judul mengikuti peraturan yang sama dengan daftar pustaka.
b. Sesudah catatan kaki pertama, penyebutan sumber yang sama digantikan dengan Ibid., Op.cit., Loc.cit..
c. Sesudah penunjukan pertama sebuah artikel dalam majalah atau harian,
maka selanjutnya cukup dipergunakan judul majalah atau harian tanpa
judul artikel.
3. Data Publikasi
a. Tempat dan tahun penerbitan dicantumkan pada referensi pertama dan
ditempatkan dalam tanda kurung dan dipisahkan dengan tanda koma,
misalnya (Jakarta, 2005).
b. Majalah harus dicantumkan nomor jilid dan nomor halaman, tanggal,
bulan dan tahun. Semua keterangan dapat ditempatkan dalam kurung.
c. Data publikasi sebuah harian terdiri dari hari, tanggal, bulan,
tahun, dan nomor halaman. Penanggalan tidak ditempatkan dalam kurung.
cara membuat catatan kaki
1. Nama pengarang ditulis lengkap, tidak dibalik.
2. Antara nama pengarang dan
3. Tempat dan tahun terbit ditempatkan dalam tanda kurung.
4. Keterangan tentang jilid ditempatkan dalam kurung sebelum tempat
terbit atau di luar kurung sebelum nomor halaman, dan ditulis dengan
angka Romawi.
1. 1 ) Go r y s Ker a f, K om pos i s i (En de Fl o re s, 1 980 ), h al . 20 3.
2. 2 ) Pr am udia n to , _ Pen de rit aa n da n Pe mu l i ha n N i as_ , K om p as , 2 A p ri l ,200 5, ha l. 46.
3. 3 ) Bur ha n S ol ihin, d kk . _ S ela ma t D atan g d i Su r
ga N i rk abe l_ . Te m p o , (Ap r il,2 005 ), h a l. 90 -91.
9. WAWANCARA
Wawancara pada dasarnya suatu dialog yang memungkinkansu atu pihak
(pewawancara) membimbing arah percakapan melalui serangkaian pertanyaan.
Dengan demikian, percakapan itu lebih terstruktur dan mungkin
melibatkan lebih dari dua orang
Wawancara umumnya bertujuan memberi fakta, alasan, opini untuk sebuah
topik tertentu dengan menggunakan kata-kata narasumber sehingga
pembaca/pendengar dapat membuat kesimpulan dari apa yang dikatakan
narasumber.
Sebelum melakukan wawancara, ada hal yang harus diperhatikan, antara lain:
1. menetapkan tujuan wawancara,
2. menentukan narasumber yang tepat untuk diwawancarai,
3. merumuskan pertanyaan-pertanyaan sesuai etika wawancara, yakni dengan
tidak bertanya hal-hal yang bersifat pribadi dan jangan menggunakan
kalimat introgatif, dan
4. membuat kesepakatan jadwal melakukan wawancara dengan narasumber.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada narasum bersebaiknya dimulai
dari pertanyaan umum dan terbuka, kemudian masuk ke detail, dan
selanjutnya ke fakta khusus.
Ragam pertanyaanyang diajukan sangat erat hubungannya dengan tujuan
wawancara. Pertanyaan dapat bertujuan untuk mencari dan menemukan
pendapat narasumber, meminta informasi, mengklarifikasi, atau bahkan
konfrontasi.
Pertanyaan sebaiknya pendek, sederhana, dan mudah dan benar. dimengerti serta mengundang jawaban.
Selanjutnya, pewawancara membuat laporan hasil wawancara. Dalam hal ini,
penulisebaiknya menuliskan hasil wawancara dalam kalimat yang efektif
dan tidak menambahkan opini pribadi.
10. ARTIKEL DAN MAJALAH DINDING
Artikel dapat didefinisikan sebagai bentuk karangan yang berisi analisis
suatu fenomena alam atau sosial dengan maksud menjelaskan siapa, apa,
kapan, di mana, bagaimana, dan mengapa fenomena itu terjadi.
Artikel dapat menawarkan wawasan baru, baik berupa teori maupun keterampilan atau alternatif pemecahan masalah.
Artikel-artikel dalam berbagai majalah dan surat kabar pada umumnya
dapat digolongkan sebagai karangan eksposisi. Karangan yang berbentuk
eksposisi biasanya berisi penjelasan-penjelasan yang bersifat informatif
atau instruktif tentang berbagai aspek kehidupan,
seperti pendidikan, agama, keuangan, kesehatan, keluarga, olahraga, ilmu dan teknologi, kesusastraan, hukum, dan lain-lain.
Artikel juga dapat digolongkan sebagai karangan argumentasi. Karangan
yang berbentuk argumentasi pada umumnya bertujuan untuk meyakinkan
pembaca akan pendapat atau sikap pengarang tentang suatu hal. Untuk
tujuan itu, pengarang biasanya mengemukakan fakta-fakta, analisis
fakta-fakta itu, dan kesimpulan berdasarkan analisis tersebut. Semua ini
merupakan argumentasi yang digunakan oleh pengarang untuk meyakinkan
pembaca.
MAJALAH DINDING
Sebagai pelajar, Anda tentu menjadi bagian dari kalangan intelektual.
Kegiatan yang berkaitan dengan hal tersebut adalah kegiatan penulisan
artikel yang dipublikasikan melalui majalah dinding atau mading. Latihan
ini akan sangat berguna untuk mengasah kemampuan Anda dalam
mempersiapkan diri masuk kalangan intelektual.
Mengingat pentingnya latihan menulis artikel ini, maka perlu adanya
rencana untuk membuat majalah dinding. Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam pembuatan majalah dinding adalah sebagai berikut.
1. Jarak pandang, majalah dinding harus dapat dibaca jelas pada jarak + 2 m. Tata Letak untuk majalah dinding
2. Layout (tata letak), jangan hanya memperhitungkan segi
seni/keindahan, tetapi utamakan kenyamanan dan kejelasan membaca.
Majalah dinding + berukuran 60 x
3. Ukuran 80 cm, atau disesuaikan tempat.
4. Isi artikel, artikel harus bersifat netral atau tidak ada tujuan memihak siapapun. Setiap majalah dinding yang dibuat
5. Tema , harus fokus pada satu tema, misalnya lingkungan, sosial, seni, musik, dan lain-lain.
6. Pembaca,harus disesuaikan dengan calon pembaca.
7. Bahasa, agar terbiasa dengan bahasa baku, usahakan setiap tulisan menggunakan bahasa baku yang tetap menarik.
8. Isi madding, Opini, fakta, problematika masalah pelajar dan
penyelesaiannya, TTS, pengetahuan baru secara teori atau keterampilan,
karikatur, sastra, pojok (berisi humor, pesan, tulisan singkat), dan
lain-lain.
11. NOVEL
Novel Indonesia adalah novel yang ditulis oleh orang Indonesia dengan
latar belakang budaya Indonesia. Novel Indonesia menceritakan tentang
kehidupan masyarakat Indonesia, baik masa kini maupun masa lampau.
UNSUR INTRINSIK NOVEL
a. Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau
berkelakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman,1990:79).
b. Perwatakan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh (Sudjiman, 1990:79).
c. Alur/plot adalah jalinan peristiwa dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu.
d. Sudut pandang adalah posisi pencerita dalam membawa kisahan, boleh
jadi ia tokoh dalam ceritanya (pencerita akuan),boleh jadi pula berada
di luarnya (pencerita diaan).
e. Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca/penonton/pendengar.
f. Latar adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra.
g. Gaya bahasa adalah cara pengarang mengungkapkan gagasannya melalui bahasa yang digunakannya.
UNSUR EKSTRINSIK NOVEL
Merupakan unsur dari luar yang turut mempengaruhi terciptanya karya
sastra. Unsur ekstrinsik meliputi biografi pengarang, keadaan masyarakat
saat karya itu dibuat, serta sejarah perkembangan karya sastra. Melalui
sebuah karya novel kita kadang secara jelas dapat memperoleh sedikit
gambaran tentang biografi pengarangnya. Melalui sebuah novel kita pun
dapat memperoleh gambaran tentang budaya dan keadaan masyarakat tertentu
saat karya itu dibuat.
Nilai-nilai dalam karya sastra dapat ditemukan melalui unsur ekstrinsik
ini. Seringkali dari tema yang sama didapat nilai yang berbeda,
tergantung pada unsur ekstrinsik yang menonjol. Misalnya, dua
novel sama-sama bertemakan cinta, namun kedua novel menawarkan nilai
yang berbeda karena ditulis oleh dua pengarang yang berbeda dalam
memandang dan menyingkap cinta, latar belakang pengarang yang berbeda,
situasi sosial yang berbeda,
dan sebagainya.
Nilai-nilai yang terkandung
a. Nilai social masyarakat, sifat yang suka memperhatikan kepentingan umum (menolong, menderma, dan lain-lain).
b. Nilai budaya Nilai yang berkaitan dengan pikiran, akal budi,
kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat suatu tempat yang menjadi
kebiasaan dan sulit diubah.
c. Nilai ekonomi Nilai yang berkaitan dengan pemanfaatan dan asas-asas
produksi, distribusi, pemakaian barang, dan kekayaan (keuangan, tenaga,
waktu, industri, dan perdagangan).
d. Nilai filsafat, hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya.
e. Nilai politik, Nilai yang berkaitan dengan proses mental, baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya pada perilaku.
ANALISIS NOVEL
Apabila kita menganalisis sebuah hasil karya sastra, kita dapat meninjau
dari dua unsur,yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Keduaunsur
tersebut sama pentingnya. Unsur intrinsik secara langsung dapat
ditemukan di dalam hasil karya sastra itu setelah dibaca dengan cermat,
sedangkan unsur ekstrinsik merupakan unsur dari luar yang turut
mempengaruhi terciptanya karya sastra.
Unsur ekstrinsik meliputi biografi pengarang, keadaan masyarakat saat
karya itu dibuat, serta sejarah perkembangan karya sastra. Melalui
sebuah karya novel kita kadang secara jelas dapat memperoleh sedikit
gambaran tentang biografi pengarangnya. Melalui sebuah novel kita pun
dapat memperoleh gambaran tentang budaya dan keadaan masyarakat tertentu
saat karya itu dibuat. Misalnya, novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli
menggambarkan budaya kawin paksa pada saat novel tersebut dibuat.
Bahkan karya pengarang yang masih seangkatan terkadang mempunyai
persamaan entah dalam pengembangan tema maupun corak aliran sastranya.
Untuk benar-benar dapat memahami sebuah karya sastra, kita perlu membaca
tidak kanya sekali, tetapi kadang lebih dari dua kali. Akan lebih
membantu daya pemahaman kita terhadap hasil karyanya kalau kita telah
mengenal biografi pengarangnya. Untuk menganalisis sebuah novel, kita
perlu memperhatikan hal-hal berikut ini.
Unsur intrinsik
Tokoh, Perwatakan, Plot, Tema, Sudut pandang, Amanat, Latar, Gaya bahasa
Unsur Ekstrinsik
Biografi pengarang, Kondisi Sosial, Politik, Filsafat,dsb
12. SURAT KUASA
Pemakaian surat kuasa di dalam suatu organisasi dapat dibedakan sebagai berikut.
1. Surat kuasa untuk keperluan intern organisasi
Surat kuasa yang dipakai di dalam lingkungansuatu organisasi pa da
dasarnya lebih merupakan formalitas saja. Karena itu, dalam surat kuasa
yang bersifat intern, data pribadi kedua belah pihak tidak perlu
dicantumkan secara rinci.
2. Surat kuasa untuk keperluan ekstern organisasi
Di dalam surat kuasa untuk keperluan ekstern organisasi harus dicantumkan secara jelas dan rinci.
a. Data pribadi pihak yang memberi kuasa.
b. Data pribadi pihak yang diberi kuasa.
c. Bentuk kekuasaan yang diberikan lengkap dengan batas-batasnya.
Bila menyangkut aspek hukum atau uang yang bernilai mulai lima ratus
ribu rupiah, surat kuasanya harus dibubuhi meterai. Besar nilai meterai
disesuaikan dengan peraturan yang berlaku pada saat pembuatan surat
kuasa. Letak meterai adalah pada posisi pemberi kuasa. Surat kuasa tidak
perlu diberi meterai jika ditulis di atas kertas segel.
Surat kuasa dikatakan sah jika telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Proses penandatanganan hendaknya sebagai berikut.
a. Yang mula-mula membubuhkan tanda tangan adalah pihak yang diberi
kuasa. Pelaksanaannya harus di hadapan pihak yang memberi kuasa.
b. Setelah itu baru pemberi kuasa. Sangat salah apabila terjadi proses
penandatanganan yang terbalik sebab kemungkinan untuk memanipulasi surat
kuasa tersebutpeluangnya sangat besar.
13. DRAMA
Drama dapat dipertunjukkan dalam berbagai bentuk, seperti pementasan
teater, sandiwara, lenong, film, sinetron, dan sebagainya. Semua bentuk
drama itu tercipta dari dialog-dialog yang diperankan mengidentifikasi
peristiwa, pelaku, dan perwatakan oleh pemain-pemain dengan didukung
latar yang sesuai. Drama dapat memukau penonton jika pemain berhasil
memerankan tokoh drama dengan karakter yang sesuai.
Drama sebagai salah satu bentuk tontonan sering kita sebut dengan
istilah teater, lakon, sandiwara, atau tonil. Menurut perkembangannya,
bentuk drama di Indonesia mulai pesat pada masa pendudukan Jepang. Hal
itu terjadi karena pada masa itu drama menjadi sarana hiburan bagi
masyarakat sebab pada masa itu film dilarang karena dianggap berbau
Belanda.
Unsur dalam drama tidak jauh berbeda dengan unsur dalam cerpen, novel,
maupun roman. Dialog menjadi ciri formal drama yang membedakannya dengan
bentuk prosa yang lain. Selain dialog, terdapat plot/alur,
karakter/tokoh, dan latar/setting. Apabila drama sebagai naskah itu
dipentaskan, maka harus dilengkapi dengan unsur: gerak, tata busana,
tata rias, tata panggung, tata bunyi, dan tata sinar.
Yang perdu diidentifikasi dalam pementasan drama adalah sebagai berikut :
1. Konflik adalah ketegangan di dalam cerita rekaan atau drama;
pertentangan antara dua kekuatan. Pertentangan ini dapat terjadi dalam
diri satu tokoh, antara dua tokoh, antara tokoh dan masyarakat
lingkungannya, antara tokoh dan alam, serta antara tokoh dan Tuhan.
Istilah lain: tikaian.
2. Dialog adalah (1) percakapan di dalam karya sastra antara dua tokoh
atau lebih; (2) karangan yang menggambarkan percakapan di antara dua
tokoh atau lebih. Di dalam dialog tercermin pertukaran pikiran atau
pendapat; dipakai di dalam drama, novel, cerita pendek, dan puisi
naratif untuk mengungkapkan watak tokoh dan melancarkan lakuan.
Dialog dalam drama berfungsi untuk: a. mengemukakan persoalan secara
langsung; b. menjelaskan tentang tokoh atau perannya; c. menggerakkan
plot maju; dan d . membuka fakta.
3. Peristiwa adalah kejadian yang penting, khususnya yang berhubungan dengan atau merupakan peristiwa yang mendahuluinya.
4. Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau
berkelakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita.
5. Watak (Character) adalah sifat dan ciri yang terdapat pada tokoh,
kualitas nalar dan jiwanya yang membedakannya dari tokoh lain
Dialog dalam drama memiliki fungsi sebagai berikut.
a. Melukiskan watak tokoh-tokoh dalam cerita.
b. Mengembangkan plot dan menjelaskan isi cerita kepada pembaca atau penonton.
c. Memberikan isyarat peristiwa yang mendahuluinya.
d. Memberikan isyarat peristiwa yang akan datang.
e. Memberikan komentar terhadap peristiwa yang sedang terjadi dalam drama tersebut.
Ketika Anda akan mementaskan naskah drama, pemilihan pemain harus
dipertimbangkan dengan tepat. Pemain dalam drama harus benar-benar
menghayati watak tokoh yang dimainkan. Supaya dapat menghayati watak
tokoh dengan benar, pemain harus membaca dan mempelajari naskah drama
dengan cermat.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan pemain drama adalah:
a. kemampuan calon pemain,
b. kesesuaian postur tubuh, tipe gerak, dan suara yang dimiliki calon pemain dengan tokoh yang akan dimainkan,
c. kesanggupan calon pemain untuk memerankan tokoh dalam drama.
Jika ketiga hal di atas dapat dipenuhi oleh calon pemain, akan
mempermudah dalam penghayatan watak tokoh dalam drama yang akan
dipentaskan. Hal lain yang harus diperhatikan, saat Anda akan menghayati
watak tokoh dalam drama yang akan diperankan adalah sebagai berikut:
1. Pahamilah ciri-ciri fisik tokoh yang diperankan, seperti jenis kelamin, umur, penampilan fisik, dan kondisi kesehatan tokoh.
2. Pahamilah ciri-ciri sosial tokoh yang diperankan, seperti pekerjaan,
kelas sosial, latar belakang keluarga, dan status tokoh yang akan
diperankan.
3. Pahamilah ciri-ciri nonfisik tokoh, seperti pandangan hidup dan keadaan batin.
4. Pahamilah ciri-ciri perilaku tokoh dalam menghadapi dan menyelesaikan sebuah konflik.
Hal-hal yang dipersiapkan dalam pementasan drama adalah:
1. Sutradara (pemimpin pementasan),
2. Penulis naskah (penulis cerita),
3. Penata artistik (pengatur setting, lighting, dan properti),
4. Penata musik (pengatur musik, pengiring, dan efek-efek suara),
5. Penata kostum (perancang pakaian sesuai dengan peran),
6. Penata rias (perancang rias sesuai dengan peran),
7. Penata tari/koreografer (penata gerak dalam pementasan),
8. Pemain (orang yang memerankan tokoh),
Drama memeliki dua aspek, yaitu aspek cerita dan aspekpementasan.
a. Aspek cerita
Aspek cerita mengungkapkan peristiwa atau kejadian yang dialami pelaku.
Kadang-kadang pada kesan itu tersirat pesan tertentu. Keterpaduan kesan
dan pesan ini terangkum dalam cerita yang dilukiskan dalam drama.
b. Aspek pementasan
Aspek pementasan drama dalam arti sesungguhnya ialah pertunjukan di atas
panggung berupa pementasan cerita tertentuoleh para pelaku. Pementasan
ini didukung oleh dekorasi panggung, tata lampu, tata musik dsb.
Kekhasan naskah drama dari karya sastra yang lain ialah adanya dialog,
alur, dan episode. Dialog drama biasanya disusun dalam bentuk skenario
(rencana lakon sandiwara secara terperinci). Alur ialah rangkaian cerita
atau peristiwa yang menggerakkan jalan cerita dari awal (pengenalan),
konflik, perumitan, klimaks, dan penyelesaian. Episode ialah bagian
pendek sebuah drama yang seakan-akan berdiri sendiri, tetapi tetap
merupakan bagian alur utamanya.
Memerankan Drama
Seorang dramawan yang baik hendaknya menguasai teknik peran. Teknik
peran (acting) adalah cara mendayagunakan peralatan ekspresi (baik
jasmani maupun rohani) serta keterampilan dalam menggunakan unsur
penunjang. Yang termasuk keterampilan menggunakan alat ekspresi jasmani
adalah keterampilan menggunakan tubuh, kelenturan tubuh, kewajaran
bertingkah laku, kemahiran dalam vokal, dan kekayaan imajinasi yang
diwujudkan dalam tingkah laku. Adapun peralatan ekspresi yang bersifat
kejiwaan ialah imajinasi, emosi, kemauan, daya ingat, inteligensi,
perasaan, dan pikiran.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membacakan dialog drama
1. Lafal adalah cara seseorang mengucapkan bunyi bahasa
2. Intonasi adalah lagu kalimat/ketepatan tinggi rendahnya nada (pembaca dialog/berita)
3. Nada adalah tinggi rendah ucapan/ungkapan keadaan jiwa atau suasana hati
4. Tempo adalah waktu/kecepatan gerak atau kecepatan artikulasi suara.
Oleh seorang pemeran drama, watak tokoh akan digambarkan
dengan:penampilan fisik (gagah, bongkok, kurus, dan sebagainya);
penampilan laku fisik (lamban, keras, dinamis, dan sebagainya);
penampilan vokal (lafal kata-kata, dialog, nyanyian, dan sebagainya);
dan penampilan emosi dan IQ (pemarah, cengeng, licik, dan sebagainya).
Hal tersebut dapat dipelajari dan dilatih dengan olah vokal/suara dan
olah sukma.
Seorang pemain drama yang baik adalah seorang yang memiliki kemampuan:
berakting dengan wajar; menjiwai atau menghayati peran; terampil dan
kreatif; berdaya imajinasi kuat; dan mengesankan (meyakinkan penonton).
Agar mempunyai kemampuan sebagai pemain drama yang baik, selain
memperhatikan lima hal yang berkaitan dengan pembacaan naskah ada empat
hal lagi yang harus diperhatikan.
A. Ekspresi wajah
1. Ekspresi mata
Mata merupakan pusat ekspresi sehingga harus diolah, dilatih, dan
disesuaikan terlebih dahulu sesuai dengan berbagai emosi. Cobalah
berlatih di depan cermin untuk menunjukkan rasa girang, marah, dan
sebagainya dengan berimajinasi/membayangkan suatu hal!
2. Ekspresi mulut
Sesudah ekspresi mata dilatih/disesuaikan, baru ekspresi mulut, karena
perasaan yang terpancar dari mata merambat ke mulut dengan cara yang
sama. Usahakan ekspresi mata sejalan/sesuai dengan ekspresi mulut
sehingga keduanya saling mendukung dan mempertegas emosi yang akan
ditonjolkan melalui ekspresi seluruh wajah.
B. Keterampilan kaki
Pemain pemula banyak yang berpenampilan kaku karena kaki seperti
tertancap paku. Kaki harus membuat pemain lebih hidup. Maka harus
diusahakan posisi kaki mengikuti arah muka. Jika muka bergerak ke kiri,
ikutilah dengan mengubah posisi kaki dan tubuh ke kiri juga.
C. Suara dan ucapan
Jika kita bermain tanpa pengeras suara, maka dituntut suara yang lantang
agar dapat meraih sejauh mungkin pendengar. Yang penting di sini adalah
bagaimana agar suara kita dapat
jelas terdengar tapi tidak memekik.Banyak orang berbicara dengan rahang
dan bibir hampir-hampir terutup dan tidak digunakan semestinya. Turunkan
rahang dan lidah. Buka bibir dan letupkan suara. Atau berlatihlah
dengan menguap yang seakan-akan mengantuk, kemudian turunkan rahang dan
suarakan vokal/ huruf hidup.
D. Penafsiran/Interpretasi
Dalam penafsiran seorang pemain harus memahami keseluruhan cerita yang
dijalin dalam plot tertentu serta mengenal watak tokoh yang
diperankannya. Kegiatan ini dapat menjadi kerja sama antara sutradara
dan pemain/aktor dalam memahami naskah.
Drama memiliki bentuk yang bermacam-macam, yaitu:
5. Tragedi ialah drama duka yang menampilkan pelakunya terlibat dalam
pertikaian serius yang menimpanya sehingga menimbulkan takut, ngeri,
menyedihkan sehingga menimbulkan tumpuan rasa kasihan penonton.
6. Melodrama ialah lakon yang sangat sentimental dengan pementasan yang mendebarkan dan mengharukan
7. Komedi ialah lakon ringan untuk menghibur namun berisikan sindiran
halus. Para pelaku berusaha menciptakan situasi yang menggelikan.
8. Force ialah pertunjukan jenaka yang mengutamakan kelucuan. Namun di
dalamnya tidak terdapat unsur sindiran. Para pelakunya berusaha berbuat
kejenakaan tentang diri mereka masing-masing.
9. Satire, kelucuan dalam hidup yang ditanggapi dengan kesungguhan
biasanya digunakan untuk melakukan kecaman/kritik terselubung.
14. MEMBACA CEPAT
Kecepatan membaca dapat diukur dengan rumus berikut ini!
Kecepatan membaca = x 60
Misalnya jumlah kata yang dibaca 1.600 kata dalam waktu 3 menit 20 detik (200 detik), maka kecepatan membaca adalah:
x 60 = 480 kp/m ( kata permenit )
Untuk menghitung jumlah kata dalam bacaan dapat dipergunakan cara berikut:
1. hitunglah jumlah kata yang terdapat dalam satu garis penuh.
2. hitunglah jumlah baris pada tiap kolom/halaman yang bersangkutan.
3. hasil perkalian antara jumlah kata dan jumlah baris adalah jumlah
kata yang terdapat dalam kolom atau halaman yang bersangkutan. Jika
bacaan itu terdiri dari beberapa halaman, jumlah kata ialah hasil kali
dari jumlah kata tiap baris, jumlah baris, dan jumlah halaman.
Hal-hal yang harus diperhatikan untuk meningkatkan kecepatan
1. Jangan mengeluarkan suara ketika membaca!
2. Jangan gerakkan bibir saat membaca!
3. Jangan gerakkan kepala ke kiri dan ke kanan saat membaca!
4. Jangan menggunakan jari untuk menunjuk teks saat membaca!
5. Jangan lakukan regresi saat membaca!
15. MEMBUAT RINGKASAN DAN IKHTISAR
Ringkasan merupakan penyajian singkat dari suatu karangan asli, tetapi
dengan tetap mempertahankan urutan isi dan sudut pandang pengarang asli.
Perbandingan bagian atau bab dari karangan asli secara proporsional
tetap dipertahankan dalam bentuknya yang singkat itu.
Tujuan ringkasan adalah membantu seseorang memahami dan mengetahui isi
sebuah buku atau karangan. Dengan membuat ringkasan, seseorang dibimbing
dan dituntun untuk membaca karangan asli dengan cermat dan menuliskan
kembali dengan tepat.
Untuk membuat ringkasan yang baik, kita perlu membaca buku atau karangan
asli dengan cermat. Dengan membaca secara cermat, kita dapat menangkap
dan membedakan gagasan utama dengan gagasan tambahan.
Beberapa pegangan untuk membuat ringkasan adalah sebagai berikut.
1. Membaca naskah asli untuk menangkap kesan umum dan sudut pandang pengarang.
2. Mencatat gagasan utama.
3. Membuat reproduksi, yaitu dengan menyusun kembali suatu karangan singkat (ringkasan) berdasarkan gagasan utama.
4. Ketentuan tambahan:
a. Sebaiknya digunakan kalimat tunggal.
b. Bila mungkin, ringkas kalimat menjadi frasa, frasa menjadi kata, rangkaian gagasan diganti dengan gagasan sentral saja.
c. Jumlah alinea tergantung dari besarnya ringkasan dan jumlah topik utama yang akan dimasukkan dalam ringkasan.
d. Bila mungkin semua keterangan atau kata sifat dibuang.
e. Pertahankan susunan gagasan asli dan ringkas gagasan-gagasan tersebut dalam urutan seperti urutan naskah asli.
f. Bila teks asli mengandung dialog, maka harus diubah ke dalam bahasa tak langsung.
g. Penulis harus memperhatikan panjang ringkasan yang dibuat.
Ikhtisar adalah Penyajian singkat dari suatu karangan asli tetapi tidak
mempertahankan urutan isi dan sudut pandangan pengarang asli
(Keraf,1980:262).
Cara Membuat Ikhtisar
1. 1 . Membaca naskah asli berulangulang.
2. Mencatat gagasan utama dan buanglah ilustrasi dan gaya bahasa.
3. 3 . Membuat reproduksi (gagasan utama disusun berdasarkan tingkat urgensinya secara sistematis).
4. Ketentuan tambahan: Rumuskan gagasan dalam kalimat tunggal.
17. BIOGRAFI
Biografi adalah buku riwayat hidup seseorang tokoh yang berisi antara
lain identitas tokoh sejak kecil sampai tua, bahkan sampai meninggal,
jasa-jasanya, buah karya, dan segala yang dihasilkannya. Biografi
ditulis orang lain, sedangkan autobiografi ditulis sendiri oleh yang
bersangkutan.
18. MENULIS LAPORAN PENELITIAN
Salah satu model karya ilmiah adalah laporan penelitian. Penelitian
adalah kegiatan mempelajari sesuatu dengan saksama, terutama untuk
menemukan fakta-fakta baru atau informasi tentan sesuatu itu untuk
menemukan teori-teori baru, premis-premis, dalil-dalil, atau
kaidah-kaidah.
Pemaparan isi laporan penelitian berhubungan dengan masalah yang
diteliti, latar belakang masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup
masalah, anggapan dasar, hipotesis, teori yang digunakan, penentuan
sumber data, pengumpulan data, dan pengolahan data melalui deskripsi
analisis dan interpretasi.
Penelitian dibedakan menjadi dua, yaitu penelitian deskriptif dan
penelitian eksperimental. Penelitian deskriptif adalah kegiatan
mengamati, mengumpulkan data, menganalisis data, dan menyimpulkan apa
adanya, tanpa ada perlakuan apa pun dalam proses penelitiannya. Contoh
penelitian deskriptif adalah survei. Penelitian eksperimental adalah
penelitian yang berusaha memberi perlakuan atas objek yang dikaji,
misalnya mencoba mencampur zat X dengan zat Y kondisi normal
dibandingkan dengan kondisi hampa udara.
Ada berbagai bentuk penataan laporan penelitian. Namun, bentuk-bentuk
penataan itu pada dasarnya sama, yakni terdiri atas dua bagian pokok,
bagian pendahuluan dan bagian isi. Bagian pendahuluan berisi informasi
yang membantu pembaca untuk lebih mudah memahami isi laporan. Bagian isi
memuat uraian utama tentang hasil penelitian.
Laporan penelitian terbagi dalam lima bab.
Bab I Pendahuluan
Bab ini berisi latar belakang dilakukannya penelitian, masalah penelitian, dan tujuan penelitian.
Bab II Kerangka Teori
Bab ini berisi penjelasan teori yang digunakan untuk melakukan penelitian.
Bab III Metode Penelitian
Bab ini memaparkan metode penelitian yang digunakan, misalnya menggunakan metode penelitian deskriptif.
Bab IV Analisis Data
Bab ini berisi analisis data untuk menghasilkan penemuan seperti yang telah disebutkan dalam tujuan penelitian.
Bab V Kesimpulan
Bab ini berisi kesimpulan hasil penelitian.
Ketika Anda akan membuat laporan penelitian, hal-hal yang harus dipersiapkan adalah:
a. menentukan topik penelitian,
b. membatasi topik dan menentukan judul penelitian,
c. menentukan masalah dan tujuan peneliatian,
d. menulis teori yang digunakan dalam penelitian,
e. menetapkan metode penelitian, dan
f. menetapkan instrumen pengumpul data.
Ketika Anda melakukan penelitian dengan metode penelitian deskriptif, hendaknya Anda menjelaskan:
a. sasaran penelitian,
b. data yang dikumpulkan,
c. cara mengumpulkan data, dan
d. instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data.
Berikut ini hal-hal yang harus diperhatikan ketika Anda melakukan pengumpulan dan analisis data.
a. Menyiapkan instrumen pengumpulan data. Instrumen dapat dilakukan dengan wawancara narasumber atau menyebar kuesioner.
b. Melakukan pencatatan data dokumenter yang relevan dengan masalah yang akan diteliti.
c. Melakukan transkrip data yang berupa data lisan atau merangkum data yang berupa kuesioner.
d. Melakukan identifikasi, penyeleksian, pengklasifikasian, dan
pengurutan data yang diperoleh dengan masalah penelitian yang akan
dipecahkan.
e. Melakukan analisis data dengan cara menafsirkan maskan setiap kelompok data sesuai dengan kerangka teori yang digunakan.
19. DISKUSI
Dalam diskusi yang baik, setiap peserta diskusi hendaknya bersikap aktif
selama diskusi berlangsung. Dengan kata lain, peserta diskusi harus
aktif mengemukakan pendapat secara objektif dan mengandung kebenaran.
Saat hendak mengungkapkan pendapat, usul, tanggapan, atau sekadar
menginformasikan sesuatu, baik lisan maupun tertulis, kadang-kadang kita
mengalami kesulitan dalam memulai. Sebetulnya banyak hal yang hendak
disampaikan, namun ternyata tidak dapat keluar, atau kalau toh keluar
susunannya tidak sistematis. Informasi yang hendak disampaikan tidak
mudah dipahami. Untuk itu, gagasanbyang hendak disampaikan perlu
terlebih dahulu dirumuskan.
Bagaimana merumuskan gagasan yang hendak disampaikan?bPerhatikan uraian berikut.
Cara merumuskan gagasan perlu memperhatikan hal sebagai berikut.
a. Apa yang hendak disampaikan?
b. Untuk tujuan apakah kita menyampaikan hal tersebut?
c. Bagaimana kita menyampaikannya?
d. Bagaimana pemilihan kata sehingga mempengaruhi struktur kalimat yang hendak kita gunakan?
Perhatikan contoh tanggapan kasus di bawah ini!
Kasus:
Dalam sebuah rapat kita tidak setuju adanya pendapat tentang adanya
rencana pembongkaran beberapa bangunan bersejarah yang berada di tengah
kota. Kita juga bermaksud memberi solusi atas hal itu.
Perumusan tanggapan yang kurang tepat:
Ah pendapat itu, seperti adanya rencana pembongkaran tidak setuju saya.
Sebaiknya rencana tersebut kalau kita masih akan melihat sejarah bangsa
kita saya setuju rencana tersebut dibatalkan.
Perumusan tanggapan yang tepat:
Saya kurang sependapat jika alasan penataan kota mengakibatkan hancurnya
bangunan bersejarah. Kita akan menjadi bangsa yang besar jika kita
menghargai sejarah bangsa sendiri. Menurut pendapat saya, sebaiknya
kebijakan tata kota ditinjau kembali tanpa harus mengorbankan
nilai-nilai sejarah yang ada. Atau, dicarikan solusi yang lebih baik
tanpa harus merusak nilai-nilai budaya yang ada.
Tanggapan dalam Diskusi
Dalam berdiskusi kita dituntut untuk dapat menanggapi pembicaraan dengan
tepat. Oleh karena itu, saat mengikuti diskusi kita harus:
1. mencatat pokok-pokok pembicaraan;
2. mencatat hal-hal yang masih kita pertanyakan (hal yang kurang jelas); dan
3. mencatat masalah-masalah yang akan kita tanggapi dengan sanggahan.
Dari hasil catatan tersebut kita akan mempunyai bahan untuk menyampaikan dukungan, sanggahan, maupun kritikan kepada pembicara.
Untuk menyampaikan suatu sanggahan yang baik hendaknya:
1. menggunakan alasan/argumen yang logis untuk memperkuat gagasan;
2. didukung dengan fakta;
3. menggunakan kalimat efektif; dan
4. memperhatikan santun berbahasa (tidak menyinggung lawan bicara).
Rangkuman Diskusi
Rangkuman dapat disebut juga ringkasan. Rangkuman dapat diartikan
sebagai bentuk pendek dari sebuah kegiatan. Rangkuman diskusi berisi
ringkasan kegiatan dalam sebuah diskusi. Rangkuman diskusi ditulis dalam
bentuk notulen diskusi. Isi notulen diskusi meliputi judul diskusi,
pembicara diskusi, moderator, notulis, waktu diskusi, peserta diskusi,
acara, dan kesimpulan. Format notulen diskusi adalah sebagai berikut.
NOTULEN DISKUSI
J udul diskusi : ________________________________________
Pembicara : ________________________________________
Moderator : ________________________________________
Notulis : ________________________________________
Waktu dan tempat : ________________________________________
Acara :
a. Pembukaan : ________________________________________
(Pembukaan diskusi dilakukan oleh moderator. Isi pembukaan adalah
penjelasan singkat tentang tata cara diskusi yang akan dilaksanakan.)
b. Penyajian : ________________________________________
(Bagian ini berisi rangkuman isi makalah yang diba-wakan oleh pembicara)
c. Tanya jawab : ________________________________________
(Bagian ini berisi tanya jawab yang dilakukan antara pembicara dengan
peserta diskusi. Jalannya tanya jawab diatur oleh moderator.)
Kesimpulan : ________________________________________
Notuli s
(na ma)
20. Frasa
Frasa adalah kesatuan yang terdiri atas dua kata atau lebih yang
masing-masing mempertahankan makna dasar katanya dan tidak melampaui
batas dan fungsi. Sebuah frasa mempunyai suatu unsur inti atau pusat,
sedangkan unsur lain disebut penjelas. Contoh: petani muda, tepi sawah,
dan lereng gunung. Kata petani, tepi dan lereng adalah unsur inti
sedangkan muda, sawah, dan gunung disebut penjelas
Penggolongan frasa berdasarkan kelompok kata dapat dibedakan menjadi dua.
1. Frasa Endosentris
a. Frasa endosentris atributif terdiri atas inti dan penjelas.
Contoh:
Pelaku peledakan / sedang tersenyum
i nti penjelas / penjelas inti
Frasa pelaku peledakan disebut juga frasa atribut berimbuhan
karena penjelasnya merupakan kata berimbuhan.
b. Frasa endosentris koordinatif adalah frasa yang unsur pembentuknya merupakan kata yang sederajat kedudukannya.
Contoh:
Mereka menangis dan meratapi nasibnya.
c. Frasa endosentris apositif bersifat keterangan yang ditambahkan atau diselipkan.
Contoh:
Pak Andi, camat kami, sedang menghadiri pertemuan.
2. Frasa Eksosentris
Bila gabungan tersebut berlainan kelasnya dari unsur yang membentuknya.
Kedua gabungan kata tersebut tidak dapat dipisahkan karena merupakan
satu kesatuan.
Contoh :
- Ia pergi ke Bandung bersama ayah.
- Ia pergi ke sekolah tanpa pamit kepada ayah.
- Ia bekerja sebagai guru.
Penggolongan frasa berdasarkan kelas kata
Selain klasifikasi berdasarkan inti atau pusat, frasa juga dapat
dibedakan berdasarkan kelas kata yang menjadi inti frasa tersebut.
1. Frasa Nominal, inti frasanya adalah kata benda.
Contoh: rumah besar, pengetahuan umum, dan guru baru.
2. Frasa Verbal, inti frasanya adalah kata kerja.
Contoh: bertanam sayur, menerima tamu, dan membaca berita.
3. Frasa Adjektival, bila inti frasanya ber-bentuk kata sifat.
Contoh: sangat tinggi, sangat menakjubkan, dan cantik sekali.
4. Frasa Preposisional, bila intinya di bawah pengaruh sebuah preposisi.
Contoh: dengan senjata tajam, ke sekolah, bagi ayah saya, dan dari pasar.
Selain contoh di atas, frasa juga dapat dibedakan atas:
1. Frasa setara, bila kedudukan kata-katanya sederajat.
Contoh: ayah ibu, kakak adik, dan suami istri.
2. Frasa bertingkat, bila gabungan kata itu ada yang menjadi inti.
Contoh: rumah itu, petani muda, dan sangat nakal.
Berikut ini frasa Nominal yang diperluas.
1. Diperluas dengan meletakkan kata penggolong di depannya.
Contoh: lima ekor ayam, beberapa butir telur, dan sepucuk surat.
2. Diperluas dengan kata penunjuk ini atau itu.
Contoh: baju merah itu, rumah mewah ini, dan mobil bagus ini.
3. Diperluas dengan kata yang.
Contoh:
- Orang yang malas itu akhirnya kehilangan pekerjaan.
- Celana dia yang kuning dibeli di Singapura.
4. Diperluas dengan menambahkan aposisi (keterangan atau penjelasan pada ungkapan
sebelumnya)
Contoh:
-Indonesia, negara yang kita cintai, sedang dilanda musibah.
21. CERPEN
Di Indonesia cerpen mulai ditulis sekitar 1930. kumpulan cerpen pertama
adalah ”Teman duduk” karya M. Kasim (1936). Cerpen kemudian
dikembangkan oleh pengarang Pujangg Baru, seperti Armin Pane dan Hamka.
Selanjutnya cerpen berkembang dengan pesat. Bahkan kini merupakan bentuk
prosa yang dominan karena mudah disampaikan melalui surat kabar,
majalah, dan radio. Suman H.S. dikenal sebagai Bapak Cerpen dan Novelis
Indonesia. Novel pertamanya adalah Kasih Tak Terlerai (1929).
Unsur-unsur cerpen
A. Unsur Intrinsik Cerpen
1. Penokohan
Tokoh merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan
dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh pada umumnya berwujud
manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau benda yang diinsankan
(Panuti Sudjiman, 1988:16).
Tokoh merupakan bagian atau unsur dari suatu kebutuhan artistik yaitu
karya sastra yang harus selalu menunjang kebutuhan artistik itu, Kennye
dalam Panuti Sudjiman (1966:25).
Penokohan dalam cerita rekaan dapat diklasifikasikan melalui jenis
tokoh, kualitas tokoh, bentuk watak dan cara penampilannya. Menurut
jenisnya ada tokoh utama dan tokoh bawahan. Yang dimaksud dengan tokoh
utama ialah tokoh yang aktif pada setiap peristiwa, sedangkan tokoh
utama dalam peristiwa tertentu (Stanton, 1965:17).
Ditinjau dari kualitas tokoh, ada tokoh yang berbentuk datar dan tokoh
yang berbentuk bulat. Adapun tokoh yang berbentuk datar ialah tokoh yang
tidak memiliki variasi perkembangan jiwa, karena sudah mempunyai
dimensi yang tetap, sedangkan tokoh yang berbentuk bulat ialah tokoh
yang memiliki variasi perkembangan jiwa yang dinamis sesuai dengan
lingkungan peristiwa yang terjadi. Biasanya tokoh yang berbentuk datar
itu pada dasarnya sama dengan tokoh tipologis, dan tokoh yang berbentuk
built disebut tokoh psikologis. Dengan demikian tokoh tipologis juga
berarti tokoh yang tidak banyak mempersoalkan perkembangan jiwa atau
tidak mengalami konflik psikis, karena sudah mempunyai personalitas yang
mapan. Sedangkan tokoh psikologis adalah tokoh yang tidak memiliki
persoanlitas yang mapan dan selalu dinamis (Kuntowijaya dalam Pradopo
dkk, 11984:91).
Jika dilihat dari cara menampilkan tokohnya ada yang ditampilkan dengan
cara analitik dan dramatik. Penampilan secara anlitik adalah pengarang
langsung memaparkan karakter tokoh, misalnya disebutkan keras hati,
keras kepala, penyayang dan sebagainya. Sedangkan penampilan yang
dramatik, karakter tokohnya tidak digambarkan secara langsung, melainkan
disampaikan melalui; (1) pilihan nama tokoh, (2) penggambaran fisik
atau postur tubuh, dan (3) melalui dialog (Atar Semi, 1984:31-32).
Sering dapat diketahui bahwa cara pengarang menggambarkan atau
memunculkan tokohnya dengan berbagi cara. Mungkin cara pengarang
menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya di alam mimpi, pelaku
memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan hidupnya, pelaku
memiliki cara yang sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya,
maupun pelaku egois, kacau dan mementingkan diri sendiri (Bouton dalam
Aminuddin, 1984).
Penyajian watak tokoh yang dihadirkan pengarang tentunya melahirkan
karakter yang berbeda-beda pula, antara tokoh yang satu dengan tokoh
yang lain. Cara mengungkapkan sebuah karakter dapat dilakukan melalui
pernyataan langsung, melalui peristiwa, melalui percakapan, melalui
menolong batin, melalui tanggapan atas pernyataan atau perbuatan dari
tokoh-tokoh lain dan melalui kiasan atau sindiran. Suatu karakter
mestinya harus ditampilkan dalam suatu pertalian yang kuat, sehingga
dapat membentuk kesatuan kesan dan pengertian tentang personalitas
individualnya. Artinya, tindak-tindak tokoh tersebut didasarkan suatu
motivasi atau alasan-alasan yang dapat diterima atau setidak-tidaknya
dapat dipahami mengapa dia berbuat dan bertindak demikian (Atar Semi,
1988:37-38). Penokohan atau perwatakan adalah pelukisan tokoh cerita,
baik keadaan lahir maupun batinnya termasuk keyakinannya, pandangan
hidupnya, adat-istiadat, dan sebagainya. Yang diangkat pengarang dalam
karyanya adalah manusia dan kehidupannya. Oleh karena itu, penokohan
merupakan unsur cerita yang sangat penting. Melalui penokohan, cerita
menjadi lebih nyata dalam angan pembaca.
Ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk melukiskan watak tokoh
cerita, yaitu dengan cara langsung, tidak langsung, dan kontekstual.
Pada pelukisan secara langsung, pengarang langsung melukiskan keadaan
dan sifat si tokoh, misalnya cerewet, nakal, jelek, baik, atau berkulit
hitam. Sebaliknya, pada pelukisan watak secara tidak langsung, pengarang
secara tersamar memberitahukan keadaan tokoh cerita.
Watak tokoh dapat disimpulkan dari pikiran, cakapan, dan tingkah laku
tokoh, bahkan dari penampilannya. Watak tokoh juga dapat disimpulkan
melalui tokoh lain yang menceritakan secara tidak langsung. Pada
Pelukisan kontekstual, watak tokoh dapat disimpulkan dari bahasa yang
digunakan pengarang untuk mengacu kepada tokoh.
2. Alur
Pengertian alur dalam cerita pendek atau dalam karya fiksi pada umumnya
adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa,
sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam
suatu cerita (Aminuddin, 1987:83).
Alur atau plot adalah rentetan peristiwa yang membentuk struktur cerita,
dimana peristiwa tersebut sambung sinambung berdasarkan hukum
sebab-akibat (Forster, 1971:93).
Alur adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun
sebagai sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan
bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi (Atar Semi, 1988:43-46). Alur
merupakan kerangka dasar yang amat penting. Alur mengatur bagaimana
tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana satu
peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain, bagaimana tokoh
digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu yang semuanya terikat dalam
suatu kesatuan waktu.
Urutan peristiwa dalam karya sastra belum tentu merupakan peristiwa yang
telah dihayati sepenuhnya oleh pengarang, akan tetapi mungkin hanya
berasal dari daya imajinasi. Begitu pula urutan peristiwa itu jumlahnya
belum tentu sama dengan pengalaman yang dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh karena itu, urutan peristiwa yang demikian tidak lain
hanyalah dimaksudkan untuk mendekatkan pada masalah yang dikerjakan
terhadap tujuan dalam karya sastra.
Sehubungan dengan penjelasan tersebut di atas menurut tasrif ada lima
hal yang perlu diperhatikan pengarang dalam membangun cerita, yaitu :
(1) situation, yakni pengarang mulai melukiskan suatu keadaan, (2)
generating circumstances, yaitu peristiwa yang bersangkutan-paut, (3)
ricing action, keadaan mulai memuncak, (4) climax, yaiut peristiwa
mencapai puncak, dan (5) document, yaitu pengarang telah memberikan
pemecahan persoalan dari semua peristiwa.
Dari kelima bagian tersebut jika diterapkan oleh pengarang secara
berurutan no 1-5, maka disebut sebagai alur lurus (progresif), sedangkan
apabila penerapan itu dimulai dari tengah atau belakang disebut sebagai
alur balik (regresif).
Di samping kedua bentuk alur tersebut, ada pula alur yang disebut alur
gabungan. Dalam alur ini dipergunakan sebagian alur lurus dan sebagian
lagi alur sorot balik. Meskipun demikian gabungan dua alur itu juga
dijalin dalam kesatuan yang padu, sehingga tidak menimbulkan kesan
adanya dua buah cerita atau peristiwa yang terpisah, baik waktu atau pun
tempat kejadiannya (Suharianto, 1982:29).
Ditinjau dari padu tidaknya alur dalam sebuah cerita, maka alur dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yakni alur rapat dan alur renggang. Dalam
alur rapat hanya tersaji adanya pengembangan cerita pada satu tokoh
saja, sehingga tidak timbul pencabangan cerita, akan tetapi apabila ada
pengembangan tokoh lain selain tokoh utama, maka terjadilah alur
renggang atau terjadi pencabangan cerita.
Dari beberapa batasan di atas jelas masing-masing alur mempunyai
keistimewaan sendiri. Alur lurus dapat memberikan kemudahan bagi pembaca
untuk menikmati cerita dari awal sampai akhir cerita. Akan tetapi lain
halnya dengan alur sorot balik (flash back). Alur ini dapat mengejutkan
pembaca, sehingga pembaca dibayangi pertanyaan apa yang terjadi
selanjutnya dan bermaksud apa pengarang menyajikan kejutan seperti itu.
Dengan demikian pembaca merasa terbius untuk membacanya sampai tuntas.
Dikatakan alur yang berhasil, jika alur yang mampu menggiring pembaca
menyelusuri cerita secara keseluruhan, tidak ada bagian yang tidak
ditinggalkan yang dianggap tidak penting.
3. Latar
Menurut pendapat Aminuddin (1987:67), yang dimaksud dengan setting/latar
adalah latar peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu
maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis.
Lebih lanjut Leo Hamalian dan Frederick R. Karel menjelaskan bahwa
setting dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa,
suasana serta benda-benda dalam lingkungan tertentu, melainkan juga
dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran,
prasangka maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu
problema tertentu. Setting dalam bentuk terakhir ini dapat dimasukkan ke
dalam setting yang bersifat psikologis (Aminuddin, 1987:68).
Secara rinci Tarigan (1986:136) menjelaskan beberapa maksud dan tujuan pelukisan latar sebagai berikut :
1) Latar yang dapat dengan mudah dikenal kembali dan dilukiskan dengan
terang dan jelas serta mudah diingat, biasanya cenderung untuk
memperbesar keyakinan terhadap tokoh dan gerak serta tindakannya.
2) Latar suatu cerita dapat mempunyai relasi yang lebih langsung dengan arti keseluruhan dan arti umum dari suatu cerita.
3) Latar mempunyai maksud-maksud tertentu yang mengarah pada penciptaan atmosfir yang bermanfaat dan berguna.
Selain menjelaskan fungsi latar sebagai penggambaran tempat (ruang) dan
waktu, latar juga sangat erat hubungannya dengan tokoh-tokoh cerita,
karena tentangnya dapat mengekspresikan watak pelaku (Wellek, 1962:221).
Penggambaran latar yang tepat akan mampu memberikan suasana tertentu
dan membuat cerita lebih hidup. Dengan adanya penggambaran latar
tersebut segala peristiwa, keadaan dan suasana yang dilakukan oleh para
tokoh dapat dirasakan oleh pembaca.
4. Sudut Pandang
Cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya
disebut sudut pandang, atau biasa diistilahkan dengan point of view
(Aminuddin, 1987:90). Pendapat tersebut dipertegas oleh Atar Semi
(1988:51) yang menyebutkan istilah sudut pandang, atau point of view
dengan istilah pusat pengisahan, yakni posisi dan penobatan diri
pengarang dalam ceritanya, atau darimana pengarang melihat
peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam cerita itu.
Sudut pandang membedakan kepada pembaca, siapa menceritakan cerita, dan
menentukan struktur gramatikal naratif. Siapa yang menceritakan cerita
adalah sangat penting, dalam menentukan apa dalam cerita, pencerita yang
berbeda akan melihat benda-benda secara berbeda pula (Montaqua dan
Henshaw, 1966:9).
Lebih lanjut Atar Semi (1988:57-58) menegaskan bahwa titik kisah
merupakan posisi dan penempatan pengarang dalam ceritanya. Ia membedakan
titik kisah menjadi empat jenis yang meliputi : (1) pengarang sebagai
tokoh, (2) pengarang sebagai tokoh sampingan, (3) pengarang sebagai
orang ketiga, (4) pengarang sebagai pemain dan narrator.
5. Gaya
Gaya adalah cara pengarang menampilkannya dengan menggunakan media
bahasa yang indah, harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana
yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca (Aminuddin,
1987:72). Hal demikian tercermin dalam cara pengarang menyusun dan
memilih kata-kata, tema dan dalam memandang tema atau persoalan,
tercermin dalam pribadi pengarangnya. Oleh Karena itu unsur cerita
sebagaimana tersebut di muka baru dapat sempurna apabila disampaikan
dengan gaya tertentu pula, karena gaya dalam karya sastra adalah bahasa
yang dipergunakan oleh pengarang (Suhariyanto, 1982:37).
Sehubungan dengan pembahasan ini pemberian gaya akan ditinjau melalui
dua sudut, yaitu gaya bahasa dan gaya bercerita, karena pengertian gaya
umumnya dapat dirumuskan sebagai cara pengarang menggambarkan cerita
agar cerita lebih menarik dan berkesan. Hal tersebut erat kaitannya
dengan kemampuan pengarang dalam penulisan cerita dengan penggunaan
bahasa, karena cerita pada dasarnya bermediakan bahasa.
5.1 Gaya Bahasa
Dalam persoalan gaya bahasa meliputi semua herarhi kebahasaan yaitu
pilihan kata secara individual, frase, klausa, kalimat dan mencakup pula
sebuah wacana secara keseluruhan (Keraf, 1984:112).
Pengembangan bahasa melalui sastra dikatakan bersifat pribadi karena
sastra itu sendiri merupakan kegiatan yang pribadi dan perorangan, ia
merupakan pengungkapan apa-apa yang menjadi pilihan pribadinya, hasil
seorang sastrawan melihat lingkungannya dan memandang ke dalam dirinya.
Atar Semi (1988:49) menyatakan bahwa gaya bahasa yang digunakan oleh
sastrawan, meskipun tidaklah terlalu luar biasa, adalah unik, karena
selain dekat dengan watak jiwa penyair; juga membuat bahasa yang
digunakannya berbeda dengan makna dan kemesraannya. Dengan gaya tertentu
seorang pengarang dapat mengekalkan pengalaman rohaninya dan
penglihatan batinnya, serta dengan itu pula ia menyentuh dan menggelitik
hati pembacanya. Karena gaya bahasa itu berasal dari batin seorang
pengarang, maka gaya bahasa yang digunakan oleh seorang pengarang dalam
karyanya secara tidak langsung menggambarkan sikap dan karakteristik
pengarang tersebut.
Sedangkan Muchin Ahmadi, dkk (1984:7) mendifinisikan gaya bahasa sebagai
kenyataan penggunaan bahasa (phenomena) yang istimewa dan tidak dapat
dipisahkan dari cara-cara atau teknik seorang pengarang dalam
merefleksikan pengalaman, bidikan, nilai-nilai kualitas, kesadaran
pikiran dan pandangannya yang istimewa. Secara tentatif tetapi praktis
gaya bahasa dapat dibatasi pengertian dasarnya sebagai suatu pengaturan
kata-kata dan kalimat-kalimat yang paling mengekspresikan tema, ide,
gagasan dan perasaan serta pengalaman pengarang. Secara garis besar gaya
bahasa dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu : (1) gaya bahasa
perasosiasian pikiran, dan (2) gaya bahasa penegasan, penekanan dan
penguatan.
5.2 Gaya Berbicara
Pada dasarnya gaya bercerita juga berperan penting bagi pengarang untuk
menulis cerita, di samping gaya bahasa yang dipergunakannya, karena
pengertian gaya cerita atau gaya bahasa pada umumnya dapat dijelaskan
sebagai salah satu metode pengarang dalam melukiskan cerita, sehingga
cerita dapat menarik bagi pembaca.
Dalam penulisan cerita, biasanya setiap pengarang mempunyai gaya yang
lain daripada yang lain. Pengarang biasa memperhatikan latar tepat atau
waktu sebagai pembuka atau penutup cerita, akan tetapi ada pula yang
menekankan pada tokoh atau penokohannya. Oleh karena cerita bermediakan
bahasa, maka gaya bercerita erat kaitannya dengan bentuk cerita yang
ditumpukan dalam bentuk frase, kata, kalimat bahkan paragraf, sehingga
semuanya membentuk struktur wacana cerita (Ihsan, 1990:63).
6. Tema
Menurut Scharbach dalam Aminuddin (1987:91), tema adalah ide yang
mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak
pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Lebih lanjtu
Brooks berpendapat seperti yang dikutip Aminudddin (1987:72), bahwa
dalam mengapresiasi suatu cerita, apresiator harus memahami ilmu
humanitas, karena tema sebenarnya merupakan pendalaman dan hasil
kontemplasi pengarang yang berkaitan dengan masalah kemanusian serta
masalah lain yang bersifat universal.
Tema sebagaimana pendapat Sudjiman (1988:51) merupakan sebuah gagasan
yang mendasari karya sastra. Tema kadang-kadang di dukung oleh pelukisan
latar, dalam karya yang lain tersirat dalam lakukan tokoh, atau dalam
penokohan. Tema bahkan menjadi faktor yang mengikat peristiwa-peristiwa
dalam satu alur.
Tema sebagaimana pendapat-pendapat di atas merupakan pemikiran pusat
yang inklusif di dalam sebuah cerita (karya sastra). Kedudukannya
menyebar pada keseluruhan unsur-unsur signifikan karya sastra. Tema
tersebut ada yang dinyatakan dengan jelas, ada pula yang dinyatakan
secara simbolik atau tersembunyi (Scharbach, 1963:273). Aminuddin
(1987:92) merinci upaya pemahaman tema sebagai berikut:
1) Memahami setting dalam prosa fiksi yang dibaca
2) Memahami penokohan atau perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi yang dibaca.
3) Memahami satuan peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam prosa fiksi yang dibaca.
4) Memahami plot atau alur cerita dalam prosa fiksi yang dibaca.
5) Menghubungkan pokok pikiran-pokok pikiran yang satu dengan yang
lainnya yang disimpulkan dari satu-satuan peristiwa yang terpapar dalam
suatu cerita.
6) Menentukan sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkan.
7) Mengidentifikasikan tujuan pengarang memaparkan ceritanya dengan
bertolak dari satuan pokok pikiran serta sikap penyair terhadap pokok
pikiran yang ditampilkannya.
8) Menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya dalam
satu dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar cerita yang
dipaparkan.
Selain upaya pemahaman tema seperti di atas, untuk memahami tema,
seorang pembaca atau paresiator perlu juga memahami latar belakang
kehidupan yang diungkapkan pengarang lewat prosa fiksi yang merupakan
usaha pengarang dalam memahami keseluruhan masalah kehidupan yang
berhubungan dengan keberadaan seorang individu maupun dalam hubungan
antara individu dengan kelompok masyarakatnya.
B. Unsur Ekstrinsik Cerpen
C. Nilai-nilai yang terkadung dalam Cerpen
Penulisnya cerpen tidaklah asal-asalan membuat cerita. Penulis
menuangkan idenya berdasarkan sebuah nilai yang ingin disampaikan kepada
pembacanya, misalnya nilai moral dan nilai keagamaan. Selain kedua
nilai itu, masih banyak nilai lain di masyarakat.
Nilai moral (nilai etik)
adalah nilai untuk manusia sebagai pribadi yang utuh, misalnya
kejujuran; nilai yang berhubungan dengan akhlak; nilai yang berkaitan
dengan benar dan salah yang dianut oleh golongan atau masyarakat.
Nilai keagamaan
adalah konsep mengenai penghargaan tinggi yang diberikan oleh warga
masyarakat pada beberapa masalah pokok dalam kehidupan keagamaan yang
bersifat suci sehingga menjadikan pedoman bagi tingkah laku warga
masyarakat bersangkutan. pandangan pengarang itu diakui sebagai
nilai-nilai kebenaran olehnya dan ingin disampaikan kepada pembaca
melalui karya sastra.
Nilai moral dan nilai keagamaan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lainnya. Pandangan hidup yang berhubungan dengan moral itu bersumber
dari nilai keagamaan. Seseorang bisa dikatakan orang bermoral, karena
orang itu beragama. Moral lebih dekat hubungannya antara manusia dengan
manusia, sedangkan agama hubungannya antara manusia dengan Tuhan.
Menyadur cerpen menjadi drama
Menyadur adalah menyusun kembali cerita secara bebas tanpa merusak garis
besar cerita (KBBI, 2001: 976). Cerpen terdiri atas paragraf-paragraf,
sedangkan drama terdiri atas adegan-adegan dan dialog.
Langkah-langkah menyadur drama adalah
a. Membaca cerpen tersebut dengan teliti
b. Mengenali unsur-unsur cerpen, kemudian mencatat unsur-unsur tersebut.
c. Menyempurnakan catatan dari awal sampai akhir.
Menyadur cerpen dapat dilakukan juga dengan cara memperluas unsur
intrinsik dan unsur-unsur lain yang mendukung cerpen misalnya:
-menambah tokoh
- mengembangkan penokohan
- menghidupkan konflik
- menghadirkan latar yang mendukung
- memunculkan penampilan (performance)
Sebelum Anda menyadur cerpen menjadi drama pahamilah
bagian-bagian drama berikut ini:
1. pengenalan
2. pemunculan peristiwa atau masalah
3. situasi menjadi rumit atau masalah menjadi kompleks
4. masalah/persoalan mencapai klimaks/titik kritis
5. situasi surut dan penyelesaiannya